Oleh: Budiarto Shambazy
Mengapa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan berlangsung 15 Februari 2017 sudah menimbulkan keberisikan selama beberapa bulan terakhir?
Suka atau tidak, itu karena ucapan dan tindak-tanduk Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang kerap menimbulkan pro dan kontra.
Pilgub DKI kali ini menjadi lebih berisik lagi karena telah menciptakan preseden baru, yakni ketika Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) ”naik pangkat” terpilih sebagai presiden.
Seolah siapa yang terpilih sebagai Gubernur DKI tahun depan berpeluang mengulang sukses Jokowi pada Pemilihan Presiden 2019.
Karena itu, muncul istilah bermakna semu, yakni ”pilgub rasa pilpres”. Pilgub DKI kali ini dianggap sebagai proxy war antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto.
Terkadang peristiwa politik biasa menjadi luar biasa. Pilkada 15 Februari 2017 melibatkan 101 pemilihan kepala daerah, tetapi pertarungan di DKI membuat kita sebagian penduduk Indonesia menjadi warga yang ”Jakarta-sentris” walaupun tidak ber-KTP di Ibu Kota.
Di tingkatan elite politik, pertarungan di Jakarta juga tentu amat penting. Gubernur Jakarta berfungsi sebagai ”pemegang kunci” ke semua akses, terutama politik dan ekonomi, yang sangat menguntungkan partai-partai dan para politisi.
Tidak heran Megawati, Yudhoyono, dan Prabowo akan tampil habis-habisan untuk Pilgub DKI.
Bahkan, sudah ada sejumlah kalangan yang mempertanyakan netralitas Presiden Jokowi karena dianggap pro-Basuki dan Wapres Jusuf Kalla pun sudah mengemukakan harapan terhadap Anies Baswedan dan Sylviana Murni.
Bukan kejutan Megawati menggunakan hak prerogatif mendukung duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat.
Pada awalnya sebagian fungsionaris PDI-P keberatan, tetapi akhirnya takluk pada keputusan Megawati.
Kejutan datang ketika Partai Gerindra, dengan dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menempatkan Sandiaga Uno hanya sebagai cawagub.
Anies, yang baru saja diberhentikan dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ditentukan sebagai cagub saat-saat terakhir.
Agus Harimurti Yudhoyono juga ditetapkan pada saat injury time. Sebagian kalangan menyambut baik ada wajah baru terjun ke politik, sebagian lagi justru menyayangkan Agus harus meninggalkan karier militernya.
Ada hal menarik yang bisa dijadikan catatan bagi partai, yakni ketiga cagub bukan kader meskipun didukung oleh sekumpulan partai.
Begitu juga dengan Sylviana, menyisakan Sandiaga dan Djarot sebagai kader tulen partai.
Sekali lagi, ini bukan proses deparpolisasi. Justru yang terjadi adalah kerja sama saling menguntungkan antara partai-partai dengan calon-calon kepala daerah dari non-partai, yang mudah-mudahan semakin memperkuat jalur karier politik perseorangan/independen.
Di lain pihak, juga menjadi pelajaran menarik bagi pemimpin muda untuk ”berselancar” di dunia politik tanpa memedulikan loyalitas kepada partai.