JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan bahwa wacana kembalinya Setya Novanto menjadi Ketua DPR tidak bertentangan dengan hukum.
Wacana itu menguat seiring dengan putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang merehabilitasi nama Novanto.
Rehabilitasi nama Novanto didasari Putusan MK terkait Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengatur pemufakatan jahat.
"Secara hukum tidak masalah," kata Refly di Jakarta, Sabtu (1/10/2016).
Meski secara hukum sah, Refly menuturkan, ambisi Novanto kembali menjadi Ketua DPR akan berdampak negatif dari sisi etik dan politik.
Refly menilai tidak etis bila Novanto kembali menjadi Ketua DPR hanya karena jabatan tersebut merupakan hak partai politik. Dan sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Novanto mengajukan diri.
Refly menuturkan sebagai partai pendukung pemerintah, sudah seharusnya hubungan Novanto dan elite partai lain tidak terguncang.
Refly melihat wacana ini juga bisa mengguncang kondusivitas internal Golkar. Menurut Refly, jika Novanto berambisi menjadi Ketua DPR bakal memicu potensi konflik baru.
"Mungkin akan ada kegaduhan baru di Golkar. Padahal kita tahu Golkar baru saja rekonsiliasi," ucap Refly.
(Baca: Jaga Kondusivitas, Golkar Kemungkinan Tak Dorong Novanto Kembali Jadi Ketua DPR)
Sebelumnya, Fraksi Partai Golkar di DPR tak menutup kemungkinan mendorong Setya Novanto kembali menduduki kursi Ketua DPR.
Hal tersebut menyusul keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) proses sidang "Papa Minta Saham" beberapa waktu lalu dan pemulihan nama baik Novanto.
"Enggak perlu diupayakan, kalau dia mau naik, tinggal saya dan Pak Aziz (Sekretaris Fraksi Aziz Syamsuddin) kirim surat, ya selesai," ujar Pelaksana Tugas Ketua Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Pergantian alat kelengkapan dewan (AKD), lanjut Kahar, adalah hal yang wajar dan sepenuhnya merupakan kewenangan fraksi. Adapun pimpinan DPR juga merupakan salah satu AKD.