BOGOR, KOMPAS.com - Adanya tudingan konspirasi asing yang diarahkan kepada aktivis antirokok oleh para pelindung kepentingan industri rokok dinilai tidak masuk akal.
Karena perusahaan rokok di Indonesia justru mulai banyak dikuasai perusahaan rokok asing.
Pendapat itu dilontarkan Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany. Ia kemudian menyoroti kepemilikan mayoritas saham oleh perusahaan rokok asing terhadap perusahaan rokok besar di Indonesia. Mulai dari Phillip Morris di Sampoerna dan British American Tobacco di Bentoel.
"Kenapa yang seperti itu tidak dibilang ulah asing," kata Hasbullah dalam seminar pengendalian tembakau dengan tema "Membongkar Hambatan Aksesi FCTC dan Mitos Rokok di Indonesia" di Bogor, Jumat (30/9/2016).
Baca juga: Petani Tembakau Dinilai Sering Dijadikan "Tameng" oleh Pengusaha Rokok
Hasbullah mengakui dalam upaya mereka memerangi rokok, ada sebagian dana hibah dari Bloomberg. Untuk Pusat Kajian Jaminan Sosial UI sendiri, ia menyebut dana yang diterima adalah Rp 4 miliar untuk dua tahun.
Ia menyatakan, Bloomberg sendiri tidak pernah meminta timbal balik dari penggelontoran dana tersebut.
Menurut Hasbullah, tidak ada yang salah dari adanya dana dari Bloomberg dan konsep mereka untuk memerangi rokok. Selain dana yang dinilainya tidak seberapa, ia menilai konsep tersebut bertujuan baik.
"Kalau tujuannya baik apa salahnya diikuti. Kenapa menolak hanya gara-gara konsep asing," ujar dia.
Baca juga: "Buruh Rokok Diupah Rendah, Tapi Pengusaha Rokok Jadi Orang Terkaya"
Ia justru menyalahkan keterlibatan perusaahan rokok asing di Indonesia yang disebutnya menarik banyak keuntungan, tanpa adanya timbal balik yang sepadan bagi Indonesia.
"Tahun 2016 Phillips Morris laba bersihnya Rp 12 triliun. Dalam 10 tahun bisa Rp 120 tahun. Tapi rakyat sakit-sakitan bukan mereka yang membayar," ujar Hasbullah.
Selain konspirasi asing, Hasbullah menyebut tudingan tidak masuk akal lain yang sering digunakan pelindung kepentingan industri rokok adalah mengenai adanya keterlibatan perusaahan farmasi.
Ia kemudian mencontohkan tudingan keterlibatan perusaahan farmasi yang ingin menjual produk nikotin terapi di balik kampanye antirokok. Hasbullah menilai, tudingan itu tidak masuk akal.
"Harusnya perusahaan farmasinya senang dong kalau banyak yang ngerokok. Karena produk mereka jadi laris," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.