JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 22.107 personil gabungan dan 24 helikopter dan pesawat diturunkan dalam operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, operasi ini dilakukan untuk pemadaman karhutla di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan pantauan satelit MODIS dengan sensor Terra Aqua milik NASA, terdapat 260 titik panas. Rincinya, 80 titik berada di Kalimantan Barat dan 66 titik di Kalimantan Tengah.
Sutopo menjelaskan, operasi pemadaman dilakukan dengan dua cara, yakni operasi darat dan udara.
Operasi pemadaman di darat mengerahkan 22.107 personil dengan rincian 3.849 personil di Riau, 5.209 personil di Jambi, 5.619 personil di Sumatera Selatan.
Lalu, 2.492 personil di Kalimantan Barat, 2.363 personil di Kalimantan Tengah dan 2.575 personil di Kalimantan Selatan.
"Operasi gabungan di darat dilakukan oleh personil dari TNI, Polri, BNPB, BPBD, Manggala Agni, Pemadam Kebakaran, dan Masyarakat Peduli Api," ujar Sutopo dalam rilis persnya, Kamis (15/9/2016).
Untuk operasi udara BNPB mengerahkan 24 helikopter dan pesawat guna melakukan water bombing dan hujan buatan.
Sebaran 24 armada udara tersebut meliputi tujuh helikopter, dua pesawat water bombing dan satu pesawat Casa untuk hujan buatan di Riau serta satu helikopter water bombing di Jambi.
Adapun tiga helikopter water bombing jenis MI-8 buatan Rusia yang mampu membawa 4.000 liter sekali terbang dikerahkan di Sumatera Selatan.
Sedangkan di Kalimantan, sebanyak 10 pesawat dikerahkan, antara lain empat helikopter dan satu pesawat hujan buatan di Kalimantan Barat, empat helikopter di Kalimantan Tengah, dan satu helikopter Bolco di Kalimantan Selatan.
"BNPB menyiapkan tambahan tiga heli jika ada peningkatan luas kebakaran hutan dan lahan, yaitu 2 heli jenis Sikorsky dan MI-172 untuk Jambi dan 1 heli MI-172 untuk Kalimantan Barat," tambah Sutopo.
Secara umum, kata Sutopo, jumlah titik panas menurun 60 persen hingga September 2016 dibandingkan pada 2015 dalam periode yang sama.
Kebakaran hutan dan lahan pada 2015 menjadi yang terbesar karena membakar 2,61 juta hektar hutan dan lahan serta menyebabkan kerugian ekonomi 221 triliun rupiah.
Sedangkan, meski belum dilakukan perhitungan, Sutopo memastikan luas hutan dan lahan yang terbakar serta dampak kerugian ekonomi yang terjadi pada tahun 2016 jauh lebih kecil dibandingkan tahun 2015 lalu.
"Memang tidak mungkin menihilkan hotspot di seluruh wilayah Indonesia selama setahun karena terkait dengan perilaku dan kebiasaan membakar, baik di lahan gambut maupun mineral," tandas Sutopo.