JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah perlu segera menerapkan manajemen krisis untuk menangani kasus vaksin palsu terutama dalam hal penyampaian informasi ke publik. Hal tersebut penting dilakukan agar persoalan vaksin palsu tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Sejak peredaran vaksin palsu diungkap Bareksrim Polri pada Juni 2016, pemerintah telah membentuk Satgas Vaksin Palsu. Penyelidikan juga terus menemui kemajuan. Namun, banyak orang tua yang anaknya terindikasi terkena vaksin palsu masih banyak yang bingung harus berbuat apa.
"Saya mau ingatkan, kalau pola komunikasi pemerintah soal vaksin palsu seperti ini terus, saya khawatir persoalan ini bisa jadi krisis. Makanya pemerintah harus punya menajemen krisis soal vaksin palsu ini," ujar Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris yang salah satu lingkup tugasnya pengawasan bidang kesehatan dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Rabu (20/7/2016).
Fahira mengatakan, harus ada pra kondisi atau persiapan baik yang sifatnya substantif, teknis, termasuk program komunikasi publik dalam semua kebijakan, tindakan, penyataan, dan program penangangan vaksin palsu.
Menurutnya, sebelum nama-nama rumah sakit pengguna vaksin palsu diumumkan ke publik ada pra kondisi untuk mengomunikasian kebijakan, program, dan aksi yang akan dilakukan pemerintah untuk anak-anak yang diduga diberi vaksin palsu oleh rumah sakit.
Pra kondisi ini sangat perlu agar orang tua yang anaknya pernah diimunisasi di rumah sakit tersebut tidak panik dan tahu langkah-langkah yang harus mereka lakukan.
"Kalau ada manajemen krisis, semua kebijakan, tindakan, penyataan, dan program penanganan vaksin palsu termasuk penyampaian informasi kepada publik direncanakan dengan baik dan diantisipasi risikonya seperti apa. Kalau ada pra kondisi, kericuhan di beberapa rumah sakit tidak akan terjadi," ujar Fahira.
Jangan sampai, lanjut Fahira, persoalan vaksin palsu ini, malah melahirkan persoalan-persoalan baru.
"Saya dapat info, IDI melaporkan orang tua anak korban vaksin palsu yang diduga melakukan pemukulan kepada dokter. Inilah kalau tidak ada manajemen krisis, masalah semakin runyam dan melahirkan persoalan-persoalan baru," ujarnya.
Menurut Fahira, kekecewaan orang tua yang anaknya diduga diberi vaksin palsu semakin bertambah saat rumah sakit-rumah sakit yang namanya diumumkan juga tidak mempunyai manajemen krisis dan tidak siap menghadapi tuntutan para orang tua.
"Tuntutan utama para orang tua itu keterbukaaan informasi pasien dengan menerbitkan daftar pasien selama periode 2003-2016 yang mendapatkan vaksinasi di RS tersebut, dan RS tidak siap. Ini yang membuat para orang tua marah. Jika kemarin ada prakondisi, pasti tidak akan serunyam sekarang," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah harus paham, semua orang tua pasti panik kalau tahu anaknya diberi vaksin palsu. Makanya harus ada manajemen krisis bila perlu buat pusat krisis.
"Bukan bermaksud membuat masyarakat menjadi panik, tetapi sebagai pusat pelayanan dan informasi agar masyarakat tenang," ujar Fahira.