Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/07/2016, 16:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung (MA) akan memprioritaskan penanganan perkara peninjauan kembali yang diajukan terpidana mati Freddy Budiman. Hal itu dilakukan untuk menghindari dimanfaatkannya upaya hukum luar biasa tersebut sebagai sarana untuk mengulur-ulur waktu eksekusi.

Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi, saat dihubungi pada Minggu (17/7/2016) malam, mengatakan, sebenarnya eksekusi bisa dilakukan tanpa menunggu putusan peninjauan kembali (PK). Pasalnya, Kejaksaan sudah mengantongi putusan kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap atau in kracht.

Meski demikian, pada praktiknya, menurut Suhadi, jaksa memang memilih untuk menunggu jika upaya hukum luar biasa, baik PK ataupun grasi, yang diajukan oleh para terpidana mati selesai.

Keputusan untuk menunggu itu dimaksudkan untuk menghilangkan risiko jika pada akhirnya PK atau grasi terpidana mati diterima.

"Kalau orangnya sudah ditembak mati terlebih dahulu, kemudian PK-nya diterima, itu akan menjadi beban jaksa. Memang, hal itu tidak diatur dalam UU, tetapi ini sudah jadi pemahaman umum antara jaksa dan MA," kata Suhadi.

(Baca: Jaksa Agung: Saya Harap Nama Freddy Budiman Masuk Daftar Eksekusi Mati)

Dalam kasus hukuman mati, menurut dia, MA sangat memahami bahwa upaya hukum itu sering dimanfaatkan untuk mengulur waktu.

"Terpidana mati, seperti juga Freddy, kalau sudah kepepet, akan mengajukan PK. Biasanya, PK itu akan diselesaikan (MA) secepat mungkin. Ini untuk menghindari ulur waktu eksekusi," ujar Suhadi.

Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo berharap MA mempercepat penanganan perkara PK Freddy. Ia juga sepakat dengan anggapan bahwa PK tersebut sebenarnya diajukan untuk mengulur pelaksanaan eksekusi.

"Novum barunya apa? Ia tetap mengendalikan peredaran narkoba dari balik penjara," kata Prasetyo, Jumat pekan lalu.

(Baca: Freddy Budiman Diduga Suap Sipir Lapas dengan Rumah dan Mobil)

Seperti diketahui, syarat pengajuan PK adalah adanya novum atau keadaan baru atau ada kesalahan di dalam putusan sebelumnya.

Pada Mei lalu, Freddy Budiman mengajukan PK. Sidang pemeriksaan berkas PK dilakukan di Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, pada sekitar Mei hingga Juni lalu. Freddy saat ini menghuni salah satu lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, Cilacap.

Dari penelusuran di situs kepaniteraan.mahkamahagung.co.id, pada Minggu kemarin, berkas perkara PK Freddy Budiman belum tercatat. Berkas perkara terakhir dikirimkan PN Cilacap pada 27 Juni lalu, seperti tercantum dalam situs itu Minggu kemarin, dan merupakan dua perkara kasasi perdata.

Freddy divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2012 karena "mengimpor" 1,4 juta butir ekstasi dari Tiongkok. Freddy diduga masih mengatur peredaran narkotika dari balik jeruji.

Pada Rabu (15/6), Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso mengungkapkan bahwa peredaran sabu dalam pipa baja dikendalikan jaringan Freddy Budiman.

Persiapan

Selama menunggu putusan MA tersebut, Kejaksaan Agung terus menyiapkan pelaksanaan hukuman mati. Prasetyo menyebutkan, instansi-instansi terkait memang sudah mulai bergerak.

"LP Nusakambangan juga mulai berbenah meningkatkan pengamanan. Kami juga menyiapkan rohaniwan, juga menyiapkan kemungkinan ada permintaan terakhir dari calon tereksekusi," kata Prasetyo.

(Baca: Kejaksaan Agung dan Janji Eksekusi Mati Tanpa Gaduh)

Sebelumnya, Kepolisian Negara RI juga menyatakan sudah menyiapkan 24 personel dari Mabes Polri untuk bersiaga di Nusakambangan. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menyebutkan, para eksekutor tersebut adalah personel yang sama saat eksekusi gelombang II, April 2015.

Meski demikian, ia masih bungkam soal jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi pada gelombang ketiga ini. Ia hanya berujar pasti lebih dari satu.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Muhammad Rum mengatakan, anggaran kejaksaan untuk eksekusi pada tahun ini cukup untuk 16 terpidana mati, dengan anggaran masing-masing terpidana Rp 200 juta.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com