Kegaduhan politik jelang pergantian Kepala Polri selalu muncul sejak reformasi 1998. Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru hal itu tak pernah terjadi.
Tercatat, sejak dikeluarkannya Tap MPR No VI/MPR/2000, Polri secara resmi lepas dari TNI (baca: ABRI), pergantian Kapolri selalu diwarnai riak-riak kegaduhan besar maupun kecil di lingkungan internal maupun eksternal kepolisian.
Pergantian Kapolri dari Jenderal (Pol) S Bimantoro ke Jenderal (Pol) Chaeruddin Ismail, hingga pergantian Kapolri dari Jenderal (Pol) Sutarman ke Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, yang didahului kegagalan Komisaris Jenderal Budi Gunawan jadi Kapolri meski dia telah lolos fit and proper test yang diselenggarakan DPR (IGM Dirgayu A Wibawa, 2016).
Kegaduhan itu, antara lain berupa Kapolri tidak bersedia diganti karena dianggap tidak mau mendukung Dekrit Presiden; pimpinan polwil kampanye untuk memilih calon presiden; calon Kapolri yang diusulkan Wanjakti Polri tidak disukai Presiden, juga secara tersembunyi kasak- kusuk tim sukses calon Kapolri, dan lain-lain.
(Baca: Jokowi Jelaskan ke DPR, Pembatalan Budi Gunawan karena Timbulkan Perdebatan)
Kegaduhan-kegaduhan itu menunjukkan indikasi bahwa organisasi Polri belum solid dan mudah terombang-ambing oleh kepentingan politik, di sisi lain kaderisasi calon pemimpin Polri belum kuat.
Mencermati hal itu, sebaiknya elite politik dan elite polisi jangan hanya mengimbau agar masyarakat tak gaduh, tetapi memikirkan pula mengapa setiap pergantian Kapolri gaduh, heboh atau ribut. Tentu masih ada masalah.
Jika dipahami, Polri itu adalah "alat negara", bukan alat politik, apalagi alat partai. Sebagai alat negara, tugasnya melindungi semua pihak di negara ini.
Mengapa mesti gaduh
Pekerjaan polisi itu adalah penegak hukum, pembina ketertiban, dan keamanan masyarakat. Seperti pendapat Jenderal Pol (Purn) Chairuddin Ismail (dalam Lazuardi, 2001) yang menyatakan bahwa: "Urusan politik adalah urusan orang-orang politik. Polisi tidak boleh melakukan politik praktis. Kebijakan politik lahir dari lembaga-lembaga tinggi negara, seperti eksekutif, legislatif, petinggi partai, dan polisi hanyalah berurusan dengan masalah ketertiban sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan itu. Tak lebih. Jadi, tak benar jika polisi disebut-sebut sebagai alat politik ataupun menjadi alat kekuasaan."
Demikian pula pendapat Kusnanto Anggoro (2016), "Calon Kapolri seharusnya memang tidak bersandar pada partai politik ataupun sebaliknya. "
Pada era Orde Lama maupun Orde Baru, strukturisasi kekuasaan eksekutif sangat kuat. Semua perangkat institusi kenegaraan terkendali secara efektif melalui institusi kepresidenan.