JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A. T. Napitupulu menilai, pemerintah belum melakukan penelitian mendalam terkait hukum kebiri.
Menurut dia, hal itu terlihat dalm draf peraturan pemerintah penggantian undang-undang (Perppu) yang mengatur tentang hukuman kebiri.
Kebiri ditempatkan sebagai pidana tambahan yang wajib dijatuhkan. Erasmus mengatakan, perumusan pidana tambahan tidak dapat wajib dijatuhkan kepada pelaku.
"Pemerintah menempatkan Perppu kebiri sebagai pidana tambahan yang wajib dijatuhkan. Selain secara perumusan pidana, ketentuan ini jelas salah. Pidana tambahan tidak dapat wajib untuk dijatuhkan. Terlihat pemerintah belum melakukan penelitian mendalam terkait hukum kebiri," papar Erasmus, dalam sebuah diskusi, di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/5/2016).
Tiga tipe hukuman kebiri
Erasmus menyebutkan, terdapat tiga tipe pengaturan hukum kebiri di beberapa negara.
Hasil kajian ICJR ini menjawab permintaan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang menginginkan perbandingan hukum kebiri pada sejumlah negara.
"Perbedaan tipe pengaturan tersebut terletak pada bagaimana kebiri diterapkan dalam hukum pidana," kata Erasmus.
Pertama, tipe kewajiban (mandatory). Hukuman kebiri dijatuhkan langsung kepada pelaku.
Menurut Erasmus, hanya sebagian kecil negara bagian di Amerika Serikat seperti Montana, Iowa, dan Wisconsin yang menerapkan hukuman ini.
Di Eropa, hanya diterapkan di Polandia dan Moldova.
Kedua, tipe tambahan (discretionary). Di Asia, tipe kebiri ini digunakan oleh Korea Selatan.
"Kebiri dijatuhkan sebagai opsi bersifat pengobatan oleh hakim. Tidak ditemukan secara spesifik posisi hukum kebiri dalam pemidanaan. Korea Selatan menjadi negara Asia pertama yang memperkenalkan kebiri kimiawi pada 2011," kata Erasmus.
Ketiga, tipe sukarela. Ada kesepakatan antara pelaku kekerasan seksual dengan keputusan penegak hukum.
"Beberapa negara yang oleh Menteri Khofifah, sepeti Australia, Inggris, dan Jerman, memposisikan kebiri mutlak harus mendapat persetujuan dari pelaku," ujar Erasmus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.