JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Baharun, mengatakan, sebagai perwakilan umat muslim tentu setuju dengan sikap pemerintah yang melarang peredaran minuman beralkohol.
Namun, kata Baharun, pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, kemarin perlu diperjelas kembali. Pernyataan itu mengenai aturan pelarangannya atau regulasi penjualan miras di tempat-tempat tertentu.
Menurut Bahrun, jika nanti ada pembahasan rancangan undang-undang terkait minuman beralkohol, maka pemerintah semestinya mengajak pihak-pihak terkait untuk duduk bersama.
"Saya tidak tahu kemendagri itu bagaimana maksudnya, tapi semestinya melibatkan MUI, tokoh masyarakat, melibatkan tokoh-tokoh terkait," ujar Baharun saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (22/5/2016).
"Bukan hanya MUI, tapi agama-agama lain harus dilibatkan mengenai masalah ini," lanjut dia.
Ia mengatakan, keputusan yang diambil berdasarkan saran dan masukan banyak pihak tentu menghasilkan keputusan yang baik.
Dalam konteks regulasi minuman beralkohol, pertimbangan baik dan buruknya musti dikaji dari setiap aspeknya. Tidak hanya soal keuntungan dari investasi dan pembangunan semata.
"Terlalu mahal jika hanya dihitung dari pemasukan atas wisata, jika dibandingkan mudhorotnya yang jauh lebih besar," tutur dia.
Maka dari itu, kata Baharun, pemerintah harus menyertakan stakeholder dalam menyikapi masalah ini.
Baharun tidak menepis jika nanti ada beberapa daerah yang setuju dengan regulasi yang tepat. Menurut dia, karena setiap daerah memiliki kultur budaya yang berbeda-beda.
"Kalau, misal di Bali, mayoritas warga membolehkan, silakan, tapi jangan sampai mengeneralisasi bahwa peraturan itu berlaku di semua daerah," kata Baharun.