JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengapresiasi kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) dalam menangkap buron kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Samadikun Hartono.
Menurut dia, BIN telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsi dan wewenang yang dimiliki di dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
"Kita berharap penangkapan buronan ini akan terus dikerjakan oleh BIN beserta aparat penegak hukum lain. Semoga juga diikuti pemulangan aset," kata Dasco di Jakarta, Senin (18/4/2016).
Menurut dia, keberhasilan BIN dalam memburu buronan tidak terlepas dari diperluasnya peran lembaga intelijen tersebut.
(baca: Jaksa Agung Sebut Buron BLBI Samadikun dalam Proses Pemulangan ke Indonesia)
"Kita juga dengar buronan di China tidak nyaman karena diperas mafia sana karena tahu bahwa mereka buronan juga," ujarnya.
Kepala BIN Sutiyoso sebelumnya mengatakan, pemulangan Samadikun akan mengikuti mekanisme yang berlaku internasional.
(baca: Pemulangan Buron BLBI Samadikun Disesuaikan dengan Hukum China)
"Nanti pemulangannya berdasarkan mekanimse internasional dan hukum China," kata Sutiyoso kepada wartawan di Berlin, Minggu malam waktu Jerman atau Senin pagi WIB.
Ia menyebutkan, Kemenlu akan berperan dalam upaya pemulangan Samadikun dengan berkoordinasi Pemerintah China.
BIN bekerja sama dengan Pemerintah China untuk memantau Samadikun yang dipastikan berada di China.
(Baca: Kalla Apresiasi Penangkapan Buron BLBI Samadikun Hartono)
"Pemantauan sudah berjalan beberapa waktu lalu. Tanggal 7 April saya diundang Pemerintah China dalam dialog tentang terorisme. Di situ saya gunakan untuk bertemu dengan counterpart dan minta bantuan untuk tangkap Samadikun," katanya.
"Pada 14 April tengah malam kami datangi lokasi itu dan mengamankan Samadikun di suatu tempat dengan memperhatikan kondisinya yang perlu perawatan karena sakit," katanya.
Samadikun divonis bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana talangan dari Bank Indonesia atau BLBI senilai sekitar Rp 2,5 triliun yang digelontorkan ke bank modern menyusul krisis finansial 1998.
Kerugian negara yang terjadi dalam kasus ini disebut sebesar Rp 169 miliar.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 28 Mei 2003, mantan Presiden Komisaris Bank PT Bank Modern Tbk itu dihukum empat tahun penjara.