JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, perusahaan pemilik kapal akan memenuhi uang tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar kepada kelompok Abu Sayyaf.
"Perusahaannya sudah siap bayar," ujar Luhut di kantornya, Senin (4/4/2016).
Meski demikian, Luhut tak menjelaskan kapan uang itu akan diantarkan kepada penyandera anak buah kapal yang seluruhnya warga negara Indonesia tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri, lanjut Luhut, terus berkomunikasi dengan pemerintahan Filipina. Berdasarkan komunikasi tersebut,10 orang WNI yang masih disandera tersebut masih terjamin keselamatannya.
(Baca: Muslim atau Bukan, Tidak Penting bagi Abu Sayyaf)
Dalam komunikasi itu pula, Filipina menolak militer Indonesia masuk wilayahnya untuk mengupayakan pembebasan sandera.
Namun, salah satu opsi yang dibuka kedua belah pihak adalah dengan mengirimkan perwira Komando Pasukan Khusus terbaik untuk ikut menyelamatkan para sandera.
"Yang paling mungkin kita lakukan itu adalah memberikan asistensi dari perwira pasukan khusus kita," ujar Luhut.
Selain itu, ada beberapa opsi yang dapat dilakukan Indonesia untuk membantu Filipina untuk membebaskan tawanan. Namun, Luhut mengatakan, opsi lainnya bukan untuk konsumsi publik.
(Baca: Terkait 10 Sandera, Pemerintah Indonesia Masih Bernegosiasi dengan Abu Sayyaf )
Peristiwa penyaderaan itu diawali saat kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 tengah membawa 7.000 ton batu bara dari Sungai Puting di Kalimantan Selatan menuju Batangas kawasan Filipina Selatan.
Kedua kapal itu diawaki 10 orang warga negara Indonesia. Karena membawa ribuan ton batu bara, kecepatan mereka hanya 4 knots.
Tiba-tiba, kapal itu dicegat dari sebelah kanan oleh orang tak dikenal bersenjata. Mereka pun dibawa ke Filipina.
Kelompok Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp14,3 miliar. Kelompok itu beberapa kali menculik warga asing dan meminta tebusan, tetapi ini adalah kejadian pertama untuk WNI.