JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta aparat penegak hukum memperhatikan hak-hak sipil politik seseorang dalam upaya membatasi gerakan radikalisme dan ekstremisme.
DPR memutuskan untuk melanjutkan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Antiterorisme.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Nurkhoiron pun menegaskan UU tersebut harus mengatur soal akuntabilitas Detasemen Khusus 88 Antiteror dalam melakukan pemberantasan terorisme.
Menurut dia, selama ini upaya penanganan terorisme yang dilakukan oleh pihak Densus 88 tidak transparan.
Komnas HAM tidak pernah mendapatkan data yang akurat mengenai berapa jumlah korban salah tangkap. Begitu juga dengan keberadaan terduga teroris setelah penangkapan yang tidak pernah didapat Komnas HAM.
"Setelah ditangkap tidak jelas di mana ditahannya. Banyak keluarga korban yang menanyakan soal kejelasan, apakah suaminya sudah dinyatakan teroris atau belum," ujar Nurkhoiro di Jakarta, Senin (29/2/2016).
Seringkali, menurut penuturan Nurkhoiron, Komnas HAM berhadapan dengan pihak Densus 88.
Komnas HAM sering meminta kejelasan kepada Densus 88 terkait laporan salah tangkap maupun seorang istri terduga teroris yang tidak mendapat kejelasan nasib suaminya. Namun, pihak Densus 88 tidak pernah memberikan kejelasan.
"Tidak pernah ada penjelasan dari Densus terkait upaya penindakan teroris. Misalnya terkait salah tangkap, kemudian apa upaya yang dilakukan. Beberapa kali kami meminta kejelasan, tapi tidak diberikan," ujar Nurkhoiron.
Selain soal transparansi, aparat penegak hukum pun tidak melakukan upaya pemulihan terhadap korban salah tangkap dan keluarganya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kedua fakta tersebut menunjukkan bahwa institusi kepolisian belum maksimal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terkait pemberantasan terorisme.
Permasalahannya, menurut Nurkhoiron, bukan terletak pada UU Antiteror atau kurangnya kewenangan, namun tingkat pemahaman institusi Kepolisian terhadap UU itu sendiri.
"Menurut saya problemnya bukan pada UU. Semua lembaga penegak hukum bisa dimanfaatkan secara maksimal, asal memahami tugas, wewenang dan ruang lingkupnya," kata Nurkhoiron.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.