Ia mengatakan, upaya pemeriksaan terhadap saksi terus dilakukan untuk mengumpulkan bukti. Menurut dia, adanya indikasi korupsi dalam kasus tersebut cukup kuat.
"Ini jelas rekayasa yang seakan-akan terjadi, tapi tidak terjadi," kata dia.
Untuk diketahui, diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp 10 miliar dalam kasus ini. Ketua tim penyidik Ali Nurdin sebelumnya menjelaskan, pada periode 2007-2009 yang lalu, PT Mobile 8 mengadakan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan.
"Ternyata PT Djaya Nusantara Komunikasi tak mampu membeli barang dalam jumlah itu. Bahkan, menurut keterangan Direktur perusahaan itu, Elliana Djaya, transaksi itu dibuat-buat seolah-olah ada," ujar Ali melalui siaran pers, Rabu (21/10/2015) malam.
Kedua perusahaan, kata Ali, bersekongkol untuk membuat pengadaan fiktif. Ali menyebutkan, pada Desember 2007, PT Mobile 8 mentransfer uang kepada PT Djaya Nusantara Komunikasi sebanyak dua kali dengan nilai masing-masing Rp 50 miliar dan Rp 30 miliar.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar. Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009. PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi sebesar Rp 10 miliar.
"Seharusnya PT Mobile 8 tidak berhak atau tidak sah menerima restitusi karena tidak ada transaksi. Dengan demikian, negara merugi sekitar Rp 10 miliar," lanjut Ali.
Ali mengatakan, pihaknya belum menetapkan seorang pun sebagai tersangka dalam kasus ini. Namun, kasus ini sudah naik ke tahap penyidikan.