JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Luh Ayu Rusminingsih, mengaku kerap diminta Jero Wacik memenuhi kebutuhan pribadi Jero dan keluarganya. Hal tersebut terungkap saat jaksa penuntut umum membacakan berita acara pemeriksaan dalam sidang perkara korupsi yang dilakukan Jero sewaktu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
"'Jero minta agar keluarga Jero Wacik diperhatikan kebutuhannya. Setiap ada permintaan Jero yang berhubungan dengan keluarga, saya diminta memenuhinya.' Benar?" tanya jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (12/10/2015).
Jaksa kemudian menyebutkan, berdasarkan keterangan dari Ayu, Jero memerintahkan Ayu untuk mengikutsertakan anak dan istrinya mengikuti kunjungan kerja menteri di dalam negeri, membelikan tiket anak Jero untuk studi di luar negeri, membelikan tiket konser untuk anak Jero, dan membeli tas dan selendang untuk istri Jero, yang seluruh pembelian itu berasal dari dana operasional menteri (DOM).
Mulanya, Ayu enggan mengakuinya. "Kalau beli tiket dan sebagainya, saya bikin rincian berapa habisnya. Nanti kami minta Pak Menteri. Kalau pakai DOM, saya kurang paham," kata Ayu.
Namun, setelah jaksa membacakan ulang BAP, akhirnya Ayu mengaku bahwa pembelian tersebut menggunakan DOM. Bahkan, Ayu mengaku harus menggelembungkan harga dalam sejumlah penggunaan DOM dan membuat laporan fiktif untuk menutupi penggunaan DOM yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Seperti contoh, Bapak kan suka refleksi. Jadi, hal seperti itu tidak layak dimasukkan dalam pertanggungjawaban. Lagian kan tidak mungkin (pihak jasa) refleksi dimintai kuitansi," kata dia.
Ayu menjelaskan, penggunaan DOM yang tidak dapat dipertanggungjawabkan merupakan pengeluaran kecil, misalnya seperti ongkos taksi, uang lembur staf, dan uang makan. Menurut dia, hal tersebut tidak perlu laporan pertanggungjawaban. Akhirnya, catatan penggunaan uang itu dialihkan untuk laporan pengeluaran anggaran DOM lainnya.
"Jadi, ada juga yang dibikin mark up atau difiktifkan. Di-mark up, misalnya satu bunga jadi Rp 50.000 atau Rp 100.000 untuk back up hal seperti itu," kata Ayu.
Saksi lainnya, yaitu mantan Kepala Subbagian TU pimpinan Kemenbudpar, Siti Alfiah, membenarkan bahwa ada laporan pertanggungjawaban fiktif dan penggelembungan harga dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan DOM.
Ia mengatakan, pertanggungjawaban fiktif biasanya menggunakan laporan perjalanan dinas dengan memakai nama-nama staf di biro keuangan dan biro tata usaha (TU). "Ada di keuangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, dibuat pertanggungjawaban lain, atas nama (anggota) staf di TU menteri dan staf biro keuangan," kata Siti.
"Memang tidak ada posnya untuk menunjang kegiatan Pak Menteri. Jadi, terpaksa kami me-mark up," ucap dia.
Sementara itu, Jero mengaku tidak tahu apa-apa soal laporan fiktif dan penggelembungan laporan pertanggungjawaban. Ia seolah melempar tanggung jawab kepada para bawahannya atas laporan pertanggungjawaban DOM itu.
"Itu kan urusan beliau-beliau di bawah untuk mengatasi situasi yang saya tidak tahu. Bukan saya yang memerintahkan untuk fiktif," kata Jero.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.