JAKARTA, KOMPAS - Muda, berpendidikan tinggi, dan mayoritas wajah baru. Begitulah profil anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019. Sebutan itu muncul karena 56,8 persen dari 560 anggota DPR yang dilantik satu tahun lalu itu baru pertama kali menjadi wakil rakyat. Lebih dari 60 persen dari wakil rakyat saat ini juga berusia di bawah 50 tahun dan yang berpendidikan sarjana serta pascasarjana lebih dari 85 persen.
Dengan komposisi seperti itu, banyak kalangan mengharapkan kinerja anggota DPR periode ini lebih baik daripada anggota DPR periode sebelumnya. Namun, harapan itu agaknya masih lebih banyak hanya berupa harapan.
Selama satu tahun masa kerjanya, DPR periode ini baru menghasilkan lima undang-undang (UU), itu pun tiga di antaranya merupakan UU revisi dan menyangkut kepentingan partai politik. Tiga UU itu adalah UU No 42/2014 yang merupakan perubahan UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; UU No 8/2015 yang adalah perubahan atas UU No 1/ 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota; serta UU No 9/2015 yang merupakan perubahan UU No 2/2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada satu tahun pertama masa kerjanya, DPR periode 2014-2015 justru terlihat lebih sibuk mengurusi masalah internal. Masa sidang I dan II dihabiskan untuk memperebutkan kursi pimpinan DPR serta pimpinan alat kelengkapan DPR (AKD), yang terdiri dari 11 komisi, 4 badan, dan 1 mahkamah kehormatan.
Masa sidang berikutnya, DPR lebih asyik mengusulkan kenaikan bantuan uang muka pembelian mobil pejabat negara, termasuk anggota DPR. Ketua DPR Setya Novanto mengusulkan uang muka mobil untuk pejabat naik dari Rp 116 juta menjadi Rp 250 juta. Namun, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 hanya menyetujui pemberian uang muka mobil Rp 210,8 juta. Protes masyarakat membuat kenaikan itu akhirnya dicabut.
Pada masa sidang yang sama, DPR menyampaikan keinginannya membangun gedung baru. Dalam rapat paripurna penutupan masa sidang III tahun sidang 2014-2015 pada 24 April 2015, Setya Novanto menyatakan, usulan itu sudah disetujui oleh Presiden. Namun, di sela-sela rapat paripurna pembacaan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2016 pada 14 Agustus, Presiden ternyata menolak menandatangani prasasti pembangunan proyek DPR.
Namun, penolakan Presiden itu tidak membuat DPR langsung surut mengusulkan pembangunan gedung baru. Pada masa sidang IV, tepatnya pada rapat paripurna tanggal 24 Juni, DPR justru mengesahkan Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Lewat program ini, setiap anggota DPR dapat mengusulkan program pembangunan di daerah pemilihan senilai Rp 20 triliun.
Saat memasuki masa sidang I tahun sidang 2015-2016, DPR membahas usulan kenaikan empat macam tunjangan, yaitu tunjangan kehormatan, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, tunjangan komunikasi intensif untuk anggota, serta tunjangan listrik dan telepon.