Revisi KUHAP diharapkan bisa memperbaiki aturan mengenai penyidikan dan penuntutan. Menurut Jan, fungsi penyidikan dan penuntutan seharusnya satu bagian.
Praktik yang berlaku saat ini, ketika berkas perkara dianggap lengkap oleh kepolisian, selanjutnya akan dikirimkan ke kejaksaan untuk diteliti dan dinyatakan lengkap atau sebaliknya. Jika tak lengkap, kejaksaan akan mengembalikan berkas ke kepolisian untuk dilengkapi. Jika lengkap, kejaksaan menyusun tuntutan pada tahap persidangan.
"Kalau mau diibaratkan, kejaksaan itu mirip tukang pos saja," ujar Jan, di Jakarta, Minggu (20/9/2015).
Kejaksaan, lanjut Jan, tidak diberi kewenangan untuk ikut serta meneliti pokok perkara atau terlibat dalam penyidikan. Kejaksaan hanya meneliti berkas perkara secara formal. Misal, apakah kelengkapan saksi sudah terpenuhi, apakah alat bukti secara umum sudah cukup, dan sebagainya. Bahkan, kejaksaan hanya diberikan waktu 14 hari oleh KUHAP untuk meneliti berkas itu.
"Kalau begini, bagaimana kita (kejaksaan) bisa menilai suatu berkas perkara secara komprehensif?" lanjut Jan.
"Kena getah" Polisi
Wakil Ketua Komisi Kejaksaan RI Erna Ratnaningsih menambahkan, akibat hal itu, pelanggaran, ketidakadilan dan pengabaian HAM sering terjadi. Ia menilai, penyidik kepolisian seringkali tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Misalnya keterangan saksi palsu, kurang alat bukti, rekayasa kasus, dan lain-lain.
Berkas perkara hasil penyelidikan dan penyidikan dari kepolisian dinilai tidak kuat sehingga kalah di tahap pengadilan atau vonis yang lebih rendah dari dakwaan. Pada tahap ini, penyidik sudah tidak lagi memiliki peran karena penuntutan dilakukan oleh kejaksaan.
"Inilah yang seringkali terjadi, di mana jaksa penuntut umum "kena getah"-nya penyidik polisi dalam proses pidana. Penyidik Polri yang mengusut, tapi jaksa penuntut yang kena kalau vonisnya rendah," ujar Erna, Minggu.
Komisi Kejaksaan, yang memantau kinerja kejaksaan, mendapatkan 1.808 laporan masyarakat sejak 2011 hingga April 2015. Laporan itu terkait dengan lemahnya posisi kejaksaan atas berkas perkara limpahan penyidik kepolisian.
Peneliti MaPPI Fakultas Hukum Universitas Indonesia Adhery Ardhan Saputro mendukung penguatan peran kejaksaan dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Peran penuntutan di kejaksaan seharusnya tak bisa dibuat terpisah dari proses penyelidikan dan penyidikan dii kepolisian. Penuntutan dan penyidikan, menurut Adhery, harus menjadi satu kesatuan.
"Ibaratnya, jaksa sudah dikasih pistol untuk nembak. Tapi dia sendiri ternyata tidak tahu apakah pistol itu berisi peluru atau kosong. Ya begitulah umpama tepat menggambarkan kondisi kejaksaan saat ini," ujar dia.
Adhery mencontohkan sistem pemidanaan di sejumlah negara maju di mana penyidikan dan penuntutan menjadi satu bagian.
"Di Amerika itu ketika polisi ingin menangkap seseorang, pasti berkonsultasi terlebih dahulu dengan jaksa wilayah setempat. Koordinasi semacam ini penting demi komprhensifnya penanganan perkara," kata Adhery.
Jaksa hadir sejak awal
Jan Maringka berharap revisi KUHAP menempatkan kejaksaan berperan sejak tahap pertama proses penegakan hukum yaitu penyelidikan, penyidikan, penangkapan atau penahanan. Dengan begitu, kerja kepolisian bisa diawasi, proses penegakan hukum pun dilakukan komprehensif sehingga upaya menjerat pihak yang melanggar hukum kian pasti.
Apalagi, meski tak tercantum di KUHAP, penyatuan penuntutan dan penyidikan telah tertuang dalam United Nation Guidelines the Role of Prosecutors tahun 1990. Namun, aturan ini belum diratifikasi oleh Indonesia.
"Arah revisi ini bukan untuk kejaksaan semata saja, tapi untuk masyarakat pencari keadilan. Ke depan, tentu kita upayakan penegakan hukum yang adil dan sesuai hak asasi manusia," ujar Jan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.