JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tetap mengakomodasi mekanisme pengadilan HAM ad hoc. Meski demikian, mekanisme rekonsiliasi tetap menjadi prioritas utama dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
"Arahan Bapak Presiden, apa ada cara lain (selain yudisial)? Pak Presiden selalu mengatakan kasus HAM masa lalu diselesaikan secara bijak, berarti jalan rekonsiliasi jalan yang lebih baik. Karena kalau dibuka pengadilan, kan tidak mudah pembuktiannya," ujar Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi dalam diskusi publik di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/8/2015).
Menurut Mualimin, pemerintah sejak awal telah memiliki semangat untuk mencoba berbagai instrumen hukum yang lain dalam menyelesaikan kasus HAM. Dirjen HAM telah menghadiri berbagai pertemuan dengan sejumlah pihak sampai pada rencana pembentukan tim kebenaran dan rekonsiliasi (KKR). Adapun tim yang akan dibentuk terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Kejaksaan, TNI, Komnas HAM, Badan Intelijen Negara, dan beberapa lembaga lain.
Mualimin mengakui, banyak pihak yang menginginkan bahwa penyelesaian kasus HAM harus melalui yudisial dengan membentuk pengadilan ad hoc. Namun, pada kenyataannya, proses hukum sulit dilakukan karena bukti-bukti dan korban sulit dikumpulkan.
Meski demikian, menurut dia, RUU KKR akan tetap mencantumkan mekanisme pengadilan ad hoc karena hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang HAM. Hingga saat ini, RUU KKR tersebut telah sampai pada harmonisasi tahap akhir di Ditjen HAM Kemenkumham.
"Semangatnya bahwa pengadilan HAM ad hoc disertai semangat untuk rekonsiliasi. Tetapi, karena sebagian besar korban HAM sudah sepuh, barangkali yang dibutuhkan adalah pengakuan dan permohonan maaf saja," kata Mualimin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.