Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amir: Masa Presiden Kita Boleh Dihina, tetapi Tak Boleh Hina Kepala Negara Lain?

Kompas.com - 07/08/2015, 14:37 WIB
Ihsanuddin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 yang membatalkan pasal larangan penghinaan terhadap presiden. Amir menganggap putusan tersebut tidak menganut asas kesetaraan hukum karena tidak turut membatalkan pasal larangan penghinaan terhadap pemimpin negara lain.

"Masa kepala negara kita boleh dihina, tetapi tidak boleh menghina kepala negara luar? Kalau begitu kita jadi terkucil. Tidak lazim itu," kata Amir kepada Kompas.com, Kamis (6/8/2015) malam.

Oleh karena itu, Amir mengaku pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pihaknya mencoba memperbaiki pasal yang sudah dibatalkan MK tersebut. Pasal itu kembali dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang diajukan ke DPR dengan sejumlah perubahan. (Baca: Hendropriyono: Masa Presiden Dipilih, Disuruh Pimpin Negara, lalu Dihina...)

Di pasal tersebut, menurut dia, ditambahkan kalimat agar seorang tak bisa dipidana ketika mengkritik presiden demi kepentingan umum. Selain itu, harus ada delik aduan terlebih dahulu sebelum kepolisian bisa mengusutnya.

"Jadi, kalau pasal ini nanti diuji materi lagi di MK, belum tentu akan dibatalkan lagi karena memang tidak sama dengan yang sudah dibatalkan kemarin," ucap Amir. (Baca: "Pemerintah Ajarkan Rakyat Tidak Hormat pada Putusan Pengadilan")

Amir meminta pemerintah Joko Widodo dan DPR membahas pasal ini secara sungguh-sungguh. Dia meminta pasal ini tak buru-buru ditolak hanya karena menimbulkan pro dan kontra di publik.

"Kepala negara dengan cara yang wajar dapat dilindungi, tapi bukan untuk berlaku semena-mena di bawah kekuasaan otoriter," ucap politisi Partai Demokrat itu.

Pasal larangan penghinaan terhadap presiden belakangan menjadi pro kontra setelah pemerintah Jokowi mengajukannya ke DPR melalui RUU KUHP.

Presiden Jokowi tetap berusaha mengajukan pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi Undang-Undang KUHP. Menurut dia, pengajuan pasal itu sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan sebelumnya dan dia hanya melanjutkannya saat ini. (Baca: Jokowi: Pasal Penghinaan Presiden Diajukan Pemerintah Sebelumnya)

Menurut Jokowi, yang diusulkan dalam revisi UU KUHP baru berbentuk rancangan sehingga dia heran mengapa pasal itu terlalu diributkan. Dia berpendapat bahwa kini "bola" berada di Dewan Perwakilan Rakyat untuk memutuskan meloloskan pasal itu atau tidak.

Jokowi menganggap pasal penghinaan presiden perlu ada dalam KUHP untuk memproteksi masyarakat yang bersikap kritis sehingga tidak terjerat pada pasal-pasal "karet" yang berujung pidana. (Baca: Jokowi Anggap Pasal Penghinaan Presiden untuk Proteksi Rakyat yang Kritis)

Karena itu, pemerintah menambahkan kalimat yang dianggap bisa memberikan proteksi itu. (Baca: Jokowi: Saya Diejek, Dicemooh, Dicaci Sudah Makanan Sehari-hari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Nasional
Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Nasional
Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Nasional
14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Mensos Risma Janjikan 3 Hal kepada Warga Kabupaten Sumba Timur

Nasional
SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

SYL Renovasi Rumah Pribadi, tapi Laporannya Rumah Dinas Menteri

Nasional
Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Jaksa KPK Sebut Nilai Total Gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh Capai Rp 62,8 M

Nasional
Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta 'Rest Area' Diperbanyak

Ratas Evaluasi Mudik, Jokowi Minta "Rest Area" Diperbanyak

Nasional
Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Dugaan TPPU Hakim Gazalba Saleh: Beli Alphard, Kredit Rumah Bareng Wadir RSUD di Jakarta

Nasional
Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Anggota Bawaslu Intan Jaya Mengaku Disandera KKB Jelang Pemilu, Tebus Ratusan Juta Rupiah agar Bebas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com