JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Kalla yakin masyarakat sekarang memilih calon kepala daerah bukan lagi mempertimbangkan kekerabatan kandidat dengan petahana. Ia yakin masyarakat mempertimbangkan kemampuan sang calon.
"Kita menghormati keputusan MK itu. Namun juga masyarakat memilih siapa saja calon itu berdasarkan kemampuan bukan karena kekerabatan," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Wapres juga menilai adanya hubungan kekerabatan antara calon kepala daerah dengan petahana tidak selamanya berujung penyalahgunaan wewenang. (baca: "MK Tak Pikirkan Politik Dinasti Bisa Terjadi Pemiskinan dan Pembodohan Rakyat")
"Penyalahgunaan wewenang ini bukan hanya karena saudara, bukan hanya kekerabatan. (Kepala daerah) yang tidak kerabat (dengan kepala derah sebelumnya) pun banyak juga yang menyalahgunakan kewenangan," ucap Kalla.
Mengenai kemungkinan pemerintah membuat aturan lain untuk mencegah berkembangnya fenomena politik dinasti, Kalla menyampaikan bahwa pemerintah hanya menjalankan undang-undang saja.
"MK itu kan sudah mengubah undang-undang, kalau begitu, ya sudah jalankan saja," ujar Kalla.
Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana seperti diatur dalam Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. (baca: MK: Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Melanggar Konstitusi)
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.
MK menilai Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (baca: Menurut MK, Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Diskriminasi dan Langgar HAM)
Dalam putusannya, MK tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya. MK sepakat dengan pentingnya pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya.
Namun, pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.