Respons pemerintah dinilainya wujud keseriusan untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Misbakhun mengatakan, keseriusan pemerintah terlihat dari instruksi Presiden Joko Widodo yang membuat tradisi baru dengan mewajibkan semua menteri menghadiri penyerahan LKPP. Instruksi Presiden itu dianggapnya akan mendorong terciptanya perbaikan laporan keuangan seluruh kementerian/lembaga.
Selain itu, Misbakhun juga mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang bekerja sama dengan BPK dalam rangka mengupayakan peningkatan akuntabilitas untuk meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di tahun selanjutnya.
"Upaya Presiden dan menterinya ini harus didukung semua pihak sehingga perbaikan yang disiapkan bersama BPK bisa berdampak baik," kata Misbakhun, dalam pernyataan tertulis yang diterima, Jumat (5/6/2015) malam.
Politisi Partai Golkar itu mengatakan, upaya mitigasi risiko yang diambil Kemenkeu adalah langkah yang tepat. Mitigasi risiko itu, menurut Misbakhun, disusun Kemenkeu atas kesepakatan dengan BPK untuk menindaklanjuti temuan BPK yang selama ini menghambat untuk mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian.
“Upaya membangun komunikasi yang dilakukan oleh Menkeu dengan BPK untuk mendapatkan supervisi adalah hal positif yang perlu diapresiasi,” kata Misbakhun.
BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian pada LKPP 2014. Opini tersebut sama dengan opini yang diberikan BPK atas LKPP 2013. BPK menilai, selama 2014, pemerintah telah memperbaiki permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan tahun 2013. Namun, tindak lanjut pemerintah belum sepenuhnya efektif untuk menyelesaikan permasalahan terkait suspen serta selisih catatan dan fisik saldo anggaran lebih (SAL) sehingga permasalahan tersebut masih terjadi pada pemeriksaan LKPP 2014.
Ketua BPK Harry Azhar Azis menjelaskan, ada empat permasalahan yang ditemukan BPK dalam pemeriksaan LKPP 2014 yang menjadi pengecualian, yaitu pencatatan mutasi aset kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) senilai 2,78 triliun tidak dapat dijelaskan, permasalahan utang kepada pihak ketiga di tiga kementerian/lembaga sebesar Rp 1,21 triliun tidak dapat ditelusuri dan tidak dapat didukung dokumen yang memadai, permasalahan pada transaksi atau saldo yang membentuk SAL tersebut tidak akurat.
"Dan terakhir, pemerintah belum memiliki mekanisme pengelolaan dan pelaporan tuntutan hukum," kata Harry.
Menanggapi itu, Presiden Jokowi meminta hasil pemeriksaan BPK itu menjadi momentum untuk seluruh kementerian/lembaga berbenah, dan meningkatkan akuntabilitasnya.
"Harus ada langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas, saya minta kementerian/lembaga memberi perhatian serius," kata Presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.