JAKARTA, KOMPAS - Usaha membumikan Pancasila secara sungguh-sungguh tampaknya masih jauh panggang dari api. Penerimaan ideologi yang masif di tingkat pengetahuan tidak diikuti dengan usaha yang konkret di level tindakan. Ditengarai, persoalan lemahnya implementasi Pancasila ini banyak bertumpuk di level elite.
Perilaku tidak disiplin, juga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), menjadi hambatan terbesar yang diperkirakan publik bakal menjadi ancaman bagi keberadaan ideologi Pancasila. Publik menilai sikap koruptif dua kali lipat lebih berbahaya ketimbang cenderung menguatnya fanatisme agama dan kelompok yang belakangan juga cukup menonjol. Sementara ancaman yang muncul dari konsumerisme, hedonisme, dan bebas-liberalis dinilai menjadi ancaman berikut yang akan menggerogoti nilai Pancasila.
Sebagian besar publik jajak pendapat menilai keadilan hukum dan ekonomi memburuk. Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi malah bertubi-tubi diterpa gelombang perlawanan. Dalam kasus terbaru, KPK kalah dalam tiga kasus praperadilan. Diawali hakim Sarpin Rizaldi yang memenangkan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (16 Februari 2015), disusul praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (12 Mei 2015) dan terakhir praperadilan mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo (26 Mei 2015).
Terlepas dari situasi kepemimpinan KPK era Abraham Samad dan berbagai kelemahan KPK, lembaga ini masih dipandang sebagai barometer penegakan hukum yang jitu mengungkap kasus korupsi. Dengan masih gonjang-ganjingnya kondisi KPK, tak heran separuh publik jajak pendapat, minggu lalu, menilai kondisi keadilan hukum semakin buruk saat ini. Mayoritas juga memandang pemerintah masih tebang pilih dalam penegakan hukum.
Ancaman berikutnya terhadap Pancasila dinilai datang dari sikap menguatnya kontestasi simbol identitas terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Implementasi nilai-nilai Pancasila ditabrak. Akibatnya, perilaku berkebalikan dengan Pancasila justru sering terjadi. Terkait sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, justru ditabrak dengan adanya pembiaran terhadap tindakan yang mengancam keberadaan kelompok minoritas. Data Komnas HAM menyebutkan, peningkatan aduan masyarakat soal pelanggaran kebebasan beragama dua kali lipat lebih banyak. Pada 2013, jumlah aduan 30 berkas dan pada 2014 naik menjadi 67 berkas.
Demikian pula di bidang ekonomi. Jurang kesenjangan ekonomi antara yang miskin dan kaya terus melebar. Ini ditunjukkan dengan data indeks gini 2013 yang sebesar 0,413. Indeks gini atau koefisien gini adalah salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan didistribusikan di antara populasi.