Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Syiar Kebencian Sepatutnya Dibatasi

Kompas.com - 30/04/2015, 16:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Demi menjaga keutuhan Indonesia yang majemuk, syiar kebencian (hate speech) yang disuarakan kelompok tertentu harus dibatasi. Asisten Perencanaan Kapolri Inspektur Jenderal Tito Karnavian, dalam dialog Imparsial "Penebaran Kebencian, Terorisme, dan Konflik Sosial di Indonesia", Rabu (29/4/2015), di Jakarta, mengatakan, freedom of speech atau kebebasan berpendapat tak berlaku absolut. Apalagi jika dalam praktiknya kelompok itu menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain atau menyebarluaskan diskriminasi.

"Kebebasan berpendapat itu harus menghargai hak orang lain dan tidak membahayakan keamanan nasional atau ketertiban publik. Perlu didengar pula pendapat publik seperti apa," kata Tito yang lama menangani kasus terorisme dan konflik di Poso, Sulawesi Tengah, dan Papua. Menurut Tito, kebebasan berpendapat di Indonesia harus lebih banyak memperhatikan perlindungan kepentingan publik.

Dia sepakat, kebebasan berpendapat harus dijamin. Namun, harus diingat, saat terjadi tindak kekerasan akibat kebencian terhadap perbedaan pandangan dan mengakibatkan kekerasan, atau potensi ke arah itu menguat, harus ada undang-undang ke arah kepentingan nasional dan publik. Kebijakan itu sangat situasional.

Menurut Tito, diperlukan survei-survei kredibel soal penyebaran kebencian dan diskriminasi terhadap perbedaan kelompok. Hal ini sangat sensitif sehingga harus dikonsultasikan dengan pendapat publik dan instansi terkait, semisal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme serta Badan Narkotika Nasional dalam hal narkoba.

Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, dalam kesempatan sama, mengatakan, berbeda dengan era Orde Baru ketika ancaman dilakukan aktor negara, kini bahaya kekerasan muncul di masyarakat oleh aktor-aktor kelompok dan lain-lain.

Diawali intoleransi

"Dalih kebebasan berekspresi digunakan untuk mengumbar kebencian dengan dalih agama dan identitas kelompok. Mengklaim dengan dalih mayoritas yang mengancam HAM dan pluralitas. Berkembangnya kekerasan terhadap minoritas diawali intoleransi dan kekerasan. Tindakan paling ekstrem adalah terorisme. Negara, dalam hal ini, harus bertindak tegas," ujar Poengky.

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis yang juga menjadi pembicara mengingatkan, modal dasar kebangsaan Indonesia adalah keberagaman. Jangan sampai kemajemukan itu hancur karena dibiarkannya syiar kebencian.

"Kondisi obyektif kita, selengkap apa pun aturan, selalu ketinggalan dari perkembangan yang terjadi. Hate speech selalu muncul, semisal 19 situs radikal dilarang Kemkominfo, tetapi tak tuntaskan persoalan. Akan muncul lebih banyak situs web pemuat hate speech. Ini bagian dari dampak membuka demokrasi yang memberi ruang pendapat. Itu kondisi obyektif yang terjadi," ujar Mulya Lubis.

Untuk mengatasi syiar kebencian, Mulya Lubis menegaskan, diperlukan sistem hukum yang bekerja dan menegakkan aturan. "Ada defisit dalam rule of law dan law enforcement, ini membuat hate speech marak. Kesadaran terorisme dan hate speech ada, tapi belum dianggap urgen," katanya. (Ong)

* Artikel ini telah ditayangkan di Harian Kompas edisi Kamis (30/4/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Mangkir Panggilan PTUN soal Gugatan Bintang 4, Pilih Hadiri Penyematan Bintang Bhayangkara Utama Polri

Prabowo Mangkir Panggilan PTUN soal Gugatan Bintang 4, Pilih Hadiri Penyematan Bintang Bhayangkara Utama Polri

Nasional
Respons Gerindra dan PAN Saat Golkar Sebut Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta Menurun

Respons Gerindra dan PAN Saat Golkar Sebut Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta Menurun

Nasional
Gerindra Tak Paksakan Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jakarta

Gerindra Tak Paksakan Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jakarta

Nasional
Rangkaian Puncak Haji Berakhir, 295 Jemaah Dibadalkan

Rangkaian Puncak Haji Berakhir, 295 Jemaah Dibadalkan

Nasional
Gerindra: Memang Anies Sudah 'Fix' Maju di Jakarta? Enggak Juga

Gerindra: Memang Anies Sudah "Fix" Maju di Jakarta? Enggak Juga

Nasional
Alasan Polri Beri Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo: Berjasa Besar

Alasan Polri Beri Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo: Berjasa Besar

Nasional
Kuota Tambahan Haji Reguler Dialihkan ke Haji Plus, Gus Muhaimin: Mencederai Rasa Keadilan

Kuota Tambahan Haji Reguler Dialihkan ke Haji Plus, Gus Muhaimin: Mencederai Rasa Keadilan

Nasional
Polri Klaim Penyidik Tak Asal-asalan Tetapkan Pegi Setiawan Jadi Tersangka Pembunuhan 'Vina Cirebon'

Polri Klaim Penyidik Tak Asal-asalan Tetapkan Pegi Setiawan Jadi Tersangka Pembunuhan "Vina Cirebon"

Nasional
Menkominfo Janji Pulihkan Layanan Publik Terdampak Gangguan Pusat Data Nasional Secepatnya

Menkominfo Janji Pulihkan Layanan Publik Terdampak Gangguan Pusat Data Nasional Secepatnya

Nasional
Terdampak Gangguan PDN, Dirjen Imigrasi Minta Warga yang ke Luar Negeri Datangi Bandara Lebih Awal

Terdampak Gangguan PDN, Dirjen Imigrasi Minta Warga yang ke Luar Negeri Datangi Bandara Lebih Awal

Nasional
Kapolri Sematkan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo

Kapolri Sematkan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo

Nasional
Dihukum 6 Tahun Bui, Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan Pertimbangkan Kasasi

Dihukum 6 Tahun Bui, Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan Pertimbangkan Kasasi

Nasional
KPK Periksa Pengusaha Zahir Ali Jadi Saksi Kasus Pengadaan Lahan Rorotan

KPK Periksa Pengusaha Zahir Ali Jadi Saksi Kasus Pengadaan Lahan Rorotan

Nasional
Kominfo Masih Berupaya Pulihkan Gangguan Pusat Data Nasional yang Bikin Layanan Imigrasi Terganggu

Kominfo Masih Berupaya Pulihkan Gangguan Pusat Data Nasional yang Bikin Layanan Imigrasi Terganggu

Nasional
Bulog Mau Akuisisi Sumber Beras Kamboja, Mentan Minta Optimalkan Potensi Domestik

Bulog Mau Akuisisi Sumber Beras Kamboja, Mentan Minta Optimalkan Potensi Domestik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com