JAKARTA, KOMPAS - Demi menjaga keutuhan Indonesia yang majemuk, syiar kebencian (hate speech) yang disuarakan kelompok tertentu harus dibatasi. Asisten Perencanaan Kapolri Inspektur Jenderal Tito Karnavian, dalam dialog Imparsial "Penebaran Kebencian, Terorisme, dan Konflik Sosial di Indonesia", Rabu (29/4/2015), di Jakarta, mengatakan, freedom of speech atau kebebasan berpendapat tak berlaku absolut. Apalagi jika dalam praktiknya kelompok itu menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain atau menyebarluaskan diskriminasi.
"Kebebasan berpendapat itu harus menghargai hak orang lain dan tidak membahayakan keamanan nasional atau ketertiban publik. Perlu didengar pula pendapat publik seperti apa," kata Tito yang lama menangani kasus terorisme dan konflik di Poso, Sulawesi Tengah, dan Papua. Menurut Tito, kebebasan berpendapat di Indonesia harus lebih banyak memperhatikan perlindungan kepentingan publik.
Dia sepakat, kebebasan berpendapat harus dijamin. Namun, harus diingat, saat terjadi tindak kekerasan akibat kebencian terhadap perbedaan pandangan dan mengakibatkan kekerasan, atau potensi ke arah itu menguat, harus ada undang-undang ke arah kepentingan nasional dan publik. Kebijakan itu sangat situasional.
Menurut Tito, diperlukan survei-survei kredibel soal penyebaran kebencian dan diskriminasi terhadap perbedaan kelompok. Hal ini sangat sensitif sehingga harus dikonsultasikan dengan pendapat publik dan instansi terkait, semisal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme serta Badan Narkotika Nasional dalam hal narkoba.
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, dalam kesempatan sama, mengatakan, berbeda dengan era Orde Baru ketika ancaman dilakukan aktor negara, kini bahaya kekerasan muncul di masyarakat oleh aktor-aktor kelompok dan lain-lain.
Diawali intoleransi
"Dalih kebebasan berekspresi digunakan untuk mengumbar kebencian dengan dalih agama dan identitas kelompok. Mengklaim dengan dalih mayoritas yang mengancam HAM dan pluralitas. Berkembangnya kekerasan terhadap minoritas diawali intoleransi dan kekerasan. Tindakan paling ekstrem adalah terorisme. Negara, dalam hal ini, harus bertindak tegas," ujar Poengky.
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis yang juga menjadi pembicara mengingatkan, modal dasar kebangsaan Indonesia adalah keberagaman. Jangan sampai kemajemukan itu hancur karena dibiarkannya syiar kebencian.
"Kondisi obyektif kita, selengkap apa pun aturan, selalu ketinggalan dari perkembangan yang terjadi. Hate speech selalu muncul, semisal 19 situs radikal dilarang Kemkominfo, tetapi tak tuntaskan persoalan. Akan muncul lebih banyak situs web pemuat hate speech. Ini bagian dari dampak membuka demokrasi yang memberi ruang pendapat. Itu kondisi obyektif yang terjadi," ujar Mulya Lubis.
Untuk mengatasi syiar kebencian, Mulya Lubis menegaskan, diperlukan sistem hukum yang bekerja dan menegakkan aturan. "Ada defisit dalam rule of law dan law enforcement, ini membuat hate speech marak. Kesadaran terorisme dan hate speech ada, tapi belum dianggap urgen," katanya. (Ong)
* Artikel ini telah ditayangkan di Harian Kompas edisi Kamis (30/4/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.