Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat, Kekuatan Transformasi Demokrasi

Kompas.com - 28/04/2015, 15:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Kemunculan populisme dalam dunia politik menjadi fenomena global. Kekuatan rakyat yang kerap melahirkan pemimpin-pemimpin di sejumlah negara ini semestinya menjadi kekuatan mentransformasikan demokrasi, bukan justru ihwal menghancurkan demokrasi.

Fenomena politik global ini diangkat dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan harian Kompas dan Asia Research Centre (ARC) Murdoch University, Australia, di kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Senin (27/4/2015).

Selain menghadirkan panelis Direktur ARC Murdoch University Kevin Hewison, peneliti ARC Murdoch University Vedi R Hadiz, Richard Robison, dan Jane Hutchinson, diskusi ini menghadirkan Pemimpin Umum Jurnal Prisma Daniel Dhakidae, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Ignas Kleden, Sekretaris Nasional Jokowi Hilmar Farid, dipandu Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Riwanto Tirtosudarmo.

Paham kekuatan rakyat ini diyakini merupakan respons atas tumbuhnya ketidakpercayaan rakyat terhadap institusi politik dan sosial yang ada. Kekuatan rakyat juga merupakan konsekuensi dari ketidakadilan, yang terlihat dari disparitas kemakmuran dan kekuasaan, juga kekecewaan terhadap janji-janji terdahulu politik liberalisme, atau kekecewaan atas modernisasi, terutama di kelompok masyarakat sedang berkembang.

Secara signifikan, paham populis ini hampir selalu digambarkan dengan dikotomi antara "rakyat sejati" dan "elite yang serakah". Fenomena kerakyatan itu ditunjukkan dengan sejumlah fenomena, antara lain di Thailand dan Filipina.

Vedi mengatakan, "Populisme terkait dengan dasar konsep politik sebagai konflik antara 'massa berbudi luhur' atau biasa disebut 'rakyat kebanyakan' dan para 'elite yang serakah."

Kevin Hewison mencontohkan cerminan paham kerakyatan di Thailand. Akar kerakyatan ini muncul dari politik dinasti yang berkepanjangan sehingga menumbuhkan kekuatan rakyat untuk merebut demokrasi, seperti saat rezim Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Daniel justru menilai Presiden Joko Widodo sebagai sosok rakyat biasa, mampu menghadirkan ide populisme dengan alasan yang berbeda. Pertama, jalan menuju kandidat presiden, setelah banyak orang mendengungkan "seorang yang bukan dari kalangan politik", atau "wong cilik", yang memunculkan popularitas dan kekuatan sangat besar.

Kedua, Jokowi membawa lagi konsep "gotong royong" ke dalam visi dan misinya. Ini menghidupkan lagi konsep inti kerakyatan yang mengingatkan pada Presiden Soekarno, 1960-an.

Vedi menjelaskan, dalam konteks politik RI kini, dalam enam bulan pemerintahannya, Presiden kurang memanfaatkan modal kekuatan rakyat yang ada.

Hilmar menambahkan, pemerintahan Jokowi belum berjalan solid. Akibatnya, pemerintahan berjalan reaktif, atau masih mirip pemadam kebakaran. Semua janji dalam Nawacita mestinya didekati dengan tepat, sesuai skala prioritasnya. (OSA/JOS/SAM)

* Artikel ini telah ditayangkan di Harian Kompas edisi Selasa (28/4/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Enggan Tanggapi Isu Harun Masiku Hampir Tertangkap Saat Menyamar Jadi Guru

KPK Enggan Tanggapi Isu Harun Masiku Hampir Tertangkap Saat Menyamar Jadi Guru

Nasional
Tagline “Haji Ramah Lansia” Dinilai Belum Sesuai, Gus Muhaimin: Perlu Benar-benar Diterapkan

Tagline “Haji Ramah Lansia” Dinilai Belum Sesuai, Gus Muhaimin: Perlu Benar-benar Diterapkan

Nasional
Kondisi Tenda Jemaah Haji Memprihatikan, Gus Muhaimin Serukan Revolusi Penyelenggaraan Haji

Kondisi Tenda Jemaah Haji Memprihatikan, Gus Muhaimin Serukan Revolusi Penyelenggaraan Haji

Nasional
Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi 'Online', tapi...

Pakar Sebut Tak Perlu Ada Bansos Khusus Korban Judi "Online", tapi...

Nasional
Harun Masiku Disebut Nyamar jadi Guru di Luar Negeri, Pimpinan KPK: Saya Anggap Info Itu Tak Pernah Ada

Harun Masiku Disebut Nyamar jadi Guru di Luar Negeri, Pimpinan KPK: Saya Anggap Info Itu Tak Pernah Ada

Nasional
Eks Penyidik: KPK Tak Mungkin Salah Gunakan Informasi Politik di Ponsel Hasto

Eks Penyidik: KPK Tak Mungkin Salah Gunakan Informasi Politik di Ponsel Hasto

Nasional
Jemaah Haji Diimbau Tunda Thawaf Ifadlah dan Sa'i Sampai Kondisinya Bugar

Jemaah Haji Diimbau Tunda Thawaf Ifadlah dan Sa'i Sampai Kondisinya Bugar

Nasional
Kasus WNI Terjerat Judi 'Online' di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Kasus WNI Terjerat Judi "Online" di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Nasional
Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Nasional
Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Nasional
MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

Nasional
Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Nasional
Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Nasional
Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Nasional
Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com