JAKARTA, KOMPAS - Kemunculan populisme dalam dunia politik menjadi fenomena global. Kekuatan rakyat yang kerap melahirkan pemimpin-pemimpin di sejumlah negara ini semestinya menjadi kekuatan mentransformasikan demokrasi, bukan justru ihwal menghancurkan demokrasi.
Fenomena politik global ini diangkat dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan harian Kompas dan Asia Research Centre (ARC) Murdoch University, Australia, di kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Senin (27/4/2015).
Selain menghadirkan panelis Direktur ARC Murdoch University Kevin Hewison, peneliti ARC Murdoch University Vedi R Hadiz, Richard Robison, dan Jane Hutchinson, diskusi ini menghadirkan Pemimpin Umum Jurnal Prisma Daniel Dhakidae, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Ignas Kleden, Sekretaris Nasional Jokowi Hilmar Farid, dipandu Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Riwanto Tirtosudarmo.
Paham kekuatan rakyat ini diyakini merupakan respons atas tumbuhnya ketidakpercayaan rakyat terhadap institusi politik dan sosial yang ada. Kekuatan rakyat juga merupakan konsekuensi dari ketidakadilan, yang terlihat dari disparitas kemakmuran dan kekuasaan, juga kekecewaan terhadap janji-janji terdahulu politik liberalisme, atau kekecewaan atas modernisasi, terutama di kelompok masyarakat sedang berkembang.
Secara signifikan, paham populis ini hampir selalu digambarkan dengan dikotomi antara "rakyat sejati" dan "elite yang serakah". Fenomena kerakyatan itu ditunjukkan dengan sejumlah fenomena, antara lain di Thailand dan Filipina.
Vedi mengatakan, "Populisme terkait dengan dasar konsep politik sebagai konflik antara 'massa berbudi luhur' atau biasa disebut 'rakyat kebanyakan' dan para 'elite yang serakah."
Kevin Hewison mencontohkan cerminan paham kerakyatan di Thailand. Akar kerakyatan ini muncul dari politik dinasti yang berkepanjangan sehingga menumbuhkan kekuatan rakyat untuk merebut demokrasi, seperti saat rezim Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Daniel justru menilai Presiden Joko Widodo sebagai sosok rakyat biasa, mampu menghadirkan ide populisme dengan alasan yang berbeda. Pertama, jalan menuju kandidat presiden, setelah banyak orang mendengungkan "seorang yang bukan dari kalangan politik", atau "wong cilik", yang memunculkan popularitas dan kekuatan sangat besar.
Kedua, Jokowi membawa lagi konsep "gotong royong" ke dalam visi dan misinya. Ini menghidupkan lagi konsep inti kerakyatan yang mengingatkan pada Presiden Soekarno, 1960-an.
Vedi menjelaskan, dalam konteks politik RI kini, dalam enam bulan pemerintahannya, Presiden kurang memanfaatkan modal kekuatan rakyat yang ada.
Hilmar menambahkan, pemerintahan Jokowi belum berjalan solid. Akibatnya, pemerintahan berjalan reaktif, atau masih mirip pemadam kebakaran. Semua janji dalam Nawacita mestinya didekati dengan tepat, sesuai skala prioritasnya. (OSA/JOS/SAM)
* Artikel ini telah ditayangkan di Harian Kompas edisi Selasa (28/4/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.