Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Dinasti dan UU Pilkada

Kompas.com - 06/04/2015, 16:12 WIB


Oleh: Indra Pahlevi

JAKARTA, KOMPAS - Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang, beberapa waktu lalu, hampir semua partai politik pada umumnya dan para bakal calon kepala daerah sudah berancang-ancang.

Yang paling kentara adalah bagaimana caranya menyiasati persyaratan "politik dinasti", sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Huruf r yang menyatakan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota) dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/ istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun).

Reaksi dan upaya siasati celah

Reaksi paling pertama adalah dengan mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 7 Huruf r tersebut ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai membatasi hak politik seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, dan melanggar konstitusi terutama Pasal 28D Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Cara ini sangat konstitusional karena memang secara yuridis normatif, mekanisme uji materi adalah saluran paling konstitusional untuk menguji ketentuan dalam undang-undang yang sudah tercantum dalam lembaran negara. Proses berikutnya tentu Mahkamah Konstitusi akan menguji apakah ketentuan tersebut, yakni Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015, yang menyatakan bahwa "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" disertai penjelasannya.

Selanjutnya, dengan ketentuan tersebut juga akan muncul beberapa kondisi (jika tetap berlaku atau tetap dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi) bagaimana kiranya jika para petahana, baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang masih menjabat, mundur sebelum masa jabatannya berakhir sehingga kerabatnya bisa mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2015 ini?

Siasat lainnya adalah bagaimana jika kepala daerah petahana yang saat ini berstatus sebagai terpidana dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan sisa masa jabatannya sekitar dua tahun lagi, lalu kerabatnya, misal anaknya, akan maju dalam pilkada mendatang? Masih banyak lagi kondisi lainnya yang bisa dimanfaatkan para pihak yang berkepentingan sebagai celah untuk bisa mengajukan para kerabat, termasuk jika kerabat kepala daerah akan maju menjadi wakil kepala daerah.

Berbagai kondisi di atas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi yuridis formal (ketentuan normatif dalam undang-undang) yang memang tidak bisa mengatur secara detail berbagai kondisi di atas serta sisi kepantasan politik, yakni pertimbangan berdasarkan etika dengan melihat pengalaman selama ini yang terjadi di beberapa daerah dengan munculnya fenomena politik dinasti yang dinilai "mengurangi makna demokrasi" serta menjadi kritik masyarakat sekaligus mengusik nilai-nilai demokrasi universal yang mengedepankan asas keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara untuk menjadi calon kepala daerah melalui pemilihan secara langsung.

Dalam konteks membangun demokrasi yang substansial, seharusnya kita harus mengedepankan pertimbangan etika dan kepantasan politik ketimbang mencari celah atas norma undang-undang yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah untuk disiasati. Padahal, kita semua tahu bahwa adanya pengaturan dalam Pasal 7 Huruf r dalam rangka memperbaiki praktik yang berlangsung selama ini. UU Pilkada sejatinya dalam rangka memperbaiki demokrasi lokal yang selama ini memiliki kekurangan, terutama dalam hal munculnya fenomena politik dinasti di sejumlah daerah.

Untuk kita ketahui, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak atau kerabatnya sesuai tata cara yang diatur dalam kerajaan tersebut agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Secara umum, setiap orang berhak menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang juga ditegaskan dalam persyaratan Pasal 7 dengan pernyataan, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: .", artinya warga negara tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang.

Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon pemimpin daerah yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin, terutama bagaimana menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat dari sisi waktu dan tindakan serta lingkungan, memiliki pola kepemimpinan yang dapat menggerakkan bawahan dan masyarakat sehingga mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan masyarakat (Kaloh, 2009: 7).

Patrimonialistik

Dalam praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005, muncul satu fenomena hadirnya politik dinasti, yaitu adanya kesinambungan pemerintahan dari lingkaran satu keluarga baik orangtua-anak, suami-istri, kakak-adik, dan lain-lain, bahkan untuk satu wilayah provinsi dengan melihat fenomena bupati/wali kota memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernur. Tidak semua fenomena ini menghadirkan praktik yang jelek karena adanya kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya. Namun, tidak sedikit justru menimbulkan persoalan baru karena adanya hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com