JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM bidang Pelanggaran HAM, Makmun, mengatakan bahwa aturan pengetatan remisi untuk terpidana kasus kejahatan luar biasa harus direvisi. Menurut Makmun, dipersulitnya pemberian remisi sama saja dengan menghukum dua kali pelaku kejahatan.
"Mengukur keberadaban suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana memperlakukan pelanggar hukumnya," kata Makmun, dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (29/3/2015).
Makmun menuturkan, hal utama dalam penindakan kejahatan korupsi adalah mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Dengan begitu, perlu ada kerjasama dengan pelaku korupsi untuk dapat menjadi justice collaborator.
Pengetatan remisi, kata Makmun, adalah sama dengan menghukum dua kali terpidana korupsi. Setelah divonis oleh pengadilan, terpidana korupsi juga menjalani hukuman di lapas dengan pengetatan pemberian hak remisinya.
"Padahal lapas itu tempat membina, bukan menghukum kedua kali setelah pengadilan," ujarnya. (baca: ICW Curigai Usulan Revisi Aturan Remisi Titipan Koruptor)
Selain itu, beban seorang narapidana juga semakin berat ketika menjalani masa hukuman di lapas. Menurut Makmun, selain sulit mendapat remisi, narapidana juga mendapat banyak hukuman seperti kehilangan kemerdekaan, tidak dapat menentukan hidupnya sendiri, kehilangan dorongan seksual, dan kehilangan hak prasarana.
"Hukuman itu menjadi penderitaan luar biasa," ucapnya.
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya menggulirkan wacana merevisi PP No 99/2012. Menurut Yasonna, seburuk-buruknya napi kasus korupsi, mereka tetap harus memperoleh haknya untuk mendapat keringanan hukuman seperti narapidana kasus lain. (Baca: Menkumham Minta Koruptor Tak Diperlakukan Diskriminatif)
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan bahwa Menkumham telah menyampaikan usulan itu kepada Presiden Joko Widodo. Presiden, kata Andi, meminta Yasonna melengkapi bahan kajian dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. (Baca: Soal Remisi untuk Koruptor, Jokowi Minta Menkumham Perhatikan Rasa Keadilan Rakyat)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.