Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/02/2015, 17:14 WIB
Indra Akuntono

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Langkah Kejaksaan Agung menunda pelaksanaan eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati menuai kritik. Penundaan eksekusi dianggap lebih kejam dibanding langsung mengeksekusi para terpidana mati.

"Menunda adalah menghukum orang dua kali. Setelah divonis, diberi harapan, tapi tetap dihukum mati. Itu lebih kejam," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, di Hotel Mulia, Jakarta, Senin (23/2/2015).

Hendardi mengaku tak sepakat Indonesia menganut hukuman mati untuk terpidana kasus narkoba. Alasannya, ia meyakini hukuman mati tak akan memberikan efek jera dan tidak memberi dampak signifikan pada penurukan angka peredaran narkoba di Indonesia.

Ia mendorong pemerintah Indonesia melakukan moratorium pada eksekusi hukuman mati. Menurut Hendardi, langkah itu lebih bijak selama sistem hukum di Indonesia masih memiliki celah yang dimanfaatkan oknum tertentu. (Baca: JK: Kalau Australia Tak Anggap Bantuan Kemanusiaan, Kita Kembalikan Saja)

"Dengan moratorium, apakah kejahatan narkoba menurun? Belum tentu. Tapi setidaknya kita tidak membunuh orang," ujar Hendardi.

Di lokasi yang sama, pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Tjipta Lesmana, menyatakan pendapat yang sama. Ia menyayangkan sikap Kejaksaan Agung yang dinilainya terlalu lama mengulur waktu eksekusi mati terpidana narkoba. (Baca: Panglima TNI: Jangan Coba Ganggu Jalannya Eksekusi Mati dengan Cara Apa Pun)

Menurut Tjipta, Kejaksaan Agung seharusnya dapat segera mengeksekusi terpidana kasus narkoba. Ia yakin, eksekusi mati dapat lebih efektif memberikan efek jera jika dilakukan secepatnya. (baca: "Semakin Lama Eksekusi Mati Ditunda, Semakin Membebani Jokowi")

"Hukuman mati ini tidak membuat efek jera karena lama dieksekusi. Lebih cepat lebih baik, kalau ditunda hanya menunda permasalahan," ungkap Tjipta.

Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya mengatakan, selain fasilitas di Lembaga Permasayarakatan Nusakambangan yang belum siap, terpencarnya para terpidana mati membuat proses eksekusi tahap kedua belum dapat dilaksanakan. (Baca: Terpencar, Alasan Kejaksaan Agung Tunda Eksekusi Terpidana Mati)

Pemerintah Indonesia tetap akan melakukan eksekusi mati meskipun mendapat protes dari negara lain. Pada Januari 2015, kejaksaan sudah melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus narkotika. Lima di antaranya ialah WNA, yakni dari Belanda, Malawi, Brasil, Nigeria, dan Vietnam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com