Oleh: Rafendi Djamin
JAKARTA, KOMPAS - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang enggan memberikan amnesti kepada terpidana mati—dan diikuti oleh Kejaksaan Agung yang akan mengeksekusi sejumlah terpidana mati—baru-baru ini merupakan langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia.
Kemunduran ini dapat dilihat secara komparatif dengan pemerintahan sebelumnya, ketika Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa secara tegas menyatakan bahwa melihat kecenderungan masyarakat internasional, Indonesia mengarah pada moratorium hukuman mati.
Di masa pemerintahan sebelumnya itu pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu menghentikan sementara hukuman mati selama empat tahun. Ia juga memberikan grasi kepada sejumlah terpidana, di samping kepentingan Indonesia untuk menyelamatkan sejumlah buruh migran di luar negeri yang juga terancam hukuman mati.
Arus balik
"Arus balik hukuman mati" digambarkan sebagai kemunduran Pemerintah Indonesia dalam menyikapi arus peradaban penghapusan hukuman mati. Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan di sini.
Dalam semua perdebatan tentang hukuman mati, setidaknya mengarah pada dua pandangan utama, yaitu yang membolehkan hukuman mati dengan syarat yang sangat ketat, baik secara substansi maupun prosedural. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hukuman mati dapat saja dibatalkan atau diganti dengan hukuman berat lainnya. Dalam konteks ini, hukuman mati adalah pilihan terakhir bagi negara untuk menghukum kejahatan-kejahatan luar biasa.
Pandangan kedua melihat bahwa hukuman mati sudah tidak laik lagi dijadikan alternatif hukuman, bahkan untuk kejahatan luar biasa, karena bertentangan dengan keadaban dan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, pendapat kedua cenderung untuk memaknai hukuman sebagai upaya untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih beradab dan menitikberatkan pada "efek jera", yang dalam banyak kasus tidak semuanya dapat dicapai dengan hanya memvonis mati kepada terdakwa.
Dari dua arus pemikiran di atas, saya membayangkan bagaimana kita dapat menerapkan hukuman mati di tengah sistem peradilan yang masih "bolong- bolong", tidak independen, dan sering kali masih diwarnai dengan praktik suap-menyuap.
Hal ini memunculkan pertanyaan lain yang harus dijawab pemerintah dan penegak hukum di Indonesia, yaitu sejauh mana proses pengadilan, penentuan putusan, bahkan proses eksekusi terpidana mati dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan? Apakah ada jaminan proses tersebut telah betul-betul terbebas dari praktik suap-menyuap atau intervensi pihak tertentu yang memang menghendaki hukuman mati itu dilakukan?
Untuk itu, di luar jawaban pertanyaan di atas, yang lebih penting saat ini adalah bagaimana pemerintah dan penegak hukum mampu memberikan fase renungan kepada semua elemen bangsa Indonesia sebagai jeda untuk lebih mengintrospeksi kembali apakah hukuman yang diberikan kepada para terdakwa tersebut. Apakah hukuman mati tersebut sebagai upaya "balas dendam" dan "kemarahan" atau lebih maju lagi menitikberatkan hukuman pada pertimbangan kesadaran penuh dan hati nurani.
Menurut hemat saya, dengan mengambil sikap moratorium hukuman mati, bangsa Indonesia akan semakin mampu menentukan sikap selanjutnya dalam memperlakukan mereka yang seharusnya mendapatkan hukuman mati, yang pada akhirnya juga memajukan peradaban dan keadaban bangsa Indonesia. Bukan justru berbalik arah, semakin menguatkan hukuman mati sebagai gambaran dari "kemarahan" dan "balas dendam" terhadap mereka yang bersalah.
Mengapa harus ditolak?
Secara filosofis, hukuman mati tidak cukup menjadi alasan yang kuat untuk membuat efek jera. Sebab, dalam konteks Indonesia, jika hukuman mati efektif memberikan efek jera kepada masyarakat, pasti tidak ada lagi kejahatan-kejahatan serupa yang berlangsung, seperti narkoba. Jika ternyata sebaliknya, sangat dimungkinkan adanya permasalahan dalam penerapan hukuman mati itu sendiri.