Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senja Kala Negeriku

Kompas.com - 17/01/2015, 14:00 WIB


Oleh: M Subhan SD

JAKARTA, KOMPAS - Seorang polisi berpangkat brigadir memberhentikan sebuah mobil yang melaju berlawanan arah di jalan satu arah di Semarang. Saat kaca mobil dibuka, ia kaget karena pengemudinya ternyata Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan pun minta maaf, mengaku bersalah, karena terburu-buru. Royadin, polisi berpangkat brigadir itu, tetap menilang Raja Yogyakarta tersebut. Sultan pergi setelah menerima surat tilang. Sultan tak mau mentang-mentang. Padahal, kekuasaannya luar biasa. Sesampai di kantor, Royadin membuat gempar. Ia dimarahi karena berani menilang Sultan. Komandannya khawatir akan mendapat sanksi.

Tak lama kemudian, Royadin dikabari akan dimutasi. Ia hanya pasrah. Benar, pikirnya, ia terkena sanksi karena berani menilang pembesar negara. Namun, ia mohon tempat tinggalnya tak dipindah. "Kalau dipindah biar saya pakai sepeda saja (ke kantor baru). Keluarga tak usah ikut," pinta Royadin. "Ngawur, kamu dipindah ke Yogyakarta. Sultan yang meminta kamu pindah ke Yogyakarta," kata komandannya. Bahkan, pangkat Royadin dinaikkan satu tingkat. Sultan memberikan penghargaan kepada polisi yang amanah, jujur, bertanggung jawab. Sultan membutuhkan polisi seperti Royadin.

Namun, giliran Royadin yang tidak aji mumpung. Ia memilih tidak pindah ke tempat tugas baru. Padahal, boleh jadi ia akan mendapat kedudukan lebih tinggi jika mau pindah ke Yogyakarta. Royadin meninggal pada 2007 dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu (sekarang ajun ispektur polisi satu) dan jabatan tertinggi Kapolsek Warungasem, Kabupaten Batang. Jabatan tertingginya kapolsek, tetapi sosok Royadin melampaui mereka yang kini menduduki jabatan tinggi, bahkan jenderal.

Sungguh tercenung membaca kisah tahun 1960-an yang pertama kali ditulis Aryadie Noersaid, keponakan Royadin, itu. Sultan enggan menggunakan jabatan, pangkat, privilese untuk kepentingan pribadi. Royadin juga dapat mengendalikan diri. Mereka dapat mengontrol nafsu kuasa yang kerap membuat banyak aparat dan pejabat lupa. Menjadi polisi pemberani dan tegas tidak harus berpangkat tinggi. Menjadi polisi bermartabat tidak harus menjadi jenderal.

Begitu juga sultan. Kekuasaannya yang besar tidak digunakan, termasuk untuk urusan sepele. Sultan mengajarkan bahwa kesalahan harus mendapatkan punishment dan kebaikan mesti diganjar reward. Bukan ditukar-tukar seperti sekarang ini. Sultan dan Royadin adalah figur pejabat dan aparat yang dibutuhkan saat ini.

Meski sama-sama satu korps, Royadin tentu tak ada hubungannya dengan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan yang diusulkan Presiden Joko Widodo dan disetujui DPR sebagai Kapolri. Budi Gunawan menjadi pusat perhatian setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nama Budi Gunawan, jenderal bintang tiga itu, disebut-sebut sejak lama terkait rekening mencurigakan, sebagaimana penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bareskrim Polri pernah mengeluarkan keterangan bahwa rekening Budi Gunawan dinilai wajar. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga menyatakan hal sama. Keterangan Bareskrim tentu bisa dipercaya sepercaya kita bahwa institusi itu belum tentu independen mengusut aparatnya.

Memang, tindakan KPK yang dianggap sangat cepat bisa dituding sebagai tindakan politik ketimbang hukum. Namun, tindakan hukum dan politik punya ruang berbeda. Kalaupun ada muatan politiknya tidak lantas mereduksi unsur hukumnya. KPK memang bergerak di ranah politik, memburu politisi atau penyelenggara negara atau pihak lain yang merampok uang rakyat. Dan, kita yakin KPK tidak pernah bermain-main.

Sayangnya, status tersangka tak punya makna apa-apa di mata DPR. Dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), Budi Gunawan lolos uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Patut dan layakkah seseorang yang berstatus tersangka menjadi calon Kapolri yang notabene menjadi pemimpin penegakan hukum di negeri ini? Dalih DPR hanya melanjutkan surat Presiden tampaknya terlalu dangkal untuk dipahami. Apakah jabatan Kapolri sedemikian mendesak walau masa pensiun Jenderal (Pol) Sutarman masih sampai Oktober 2015? Namun, di sisi lain, mengapa DPR menunda dan membiarkan pimpinan KPK—yang sesungguhnya sangat penting—tidak lengkap? Padahal, seharusnya inilah saatnya DPR menggunakan fungsi pengawasan terhadap presiden yang mungkin saja kebablasan memilih Kapolri.

Boleh jadi Presiden Jokowi menjadi pangkal kekisruhan. Namun, banyak analis politik percaya Presiden Jokowi berada dalam situasi serba salah. Presiden mungkin tertekan. Banyak pihak menduga calon Kapolri itu bukan pilihan Presiden. Menjadi rahasia umum Komjen Budi Gunawan dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Budi Gunawan adalah ajudan Presiden Megawati (2001-2004). Partai koalisi juga tampaknya sepakat. Jika memang demikian, Presiden harus bisa keluar dari bayang-bayang "Ibu Megawati", partai koalisi, atau pihak berkuasa lainnya.

Selama ini, dengan pelibatan KPK, Presiden Jokowi memperlihatkan berada di trek yang benar sesuai kehendak rakyat. Cara itu juga masih menunjukkan "kepatuhan" kepada Megawati (PDI-P). Realitas politik memang tidak hitam-putih. Kadang sesuatu yang terang benderang justru terlihat samar-samar atau sebaliknya. Kepentingan, koalisi, kesepakatan, tarik-menarik, friksi, hingga konflik menjadi bumbu abadi di politik. Dan, penunjukan Pelaksana Tugas Kapolri Komjen Badrodin Haiti, menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman, menunjukkan tarik-menarik politik cukup kuat. "Jalan tengah" itu tampaknya dapat diterima semua pihak.

Akhirnya, tekad dan janji Presiden Jokowi untuk membangun Indonesia baru yang bersih dan bermartabat akan meniti jalan terjal, berliku, dan penuh duri. Maka, saatnya Presiden harus pede dan teguh sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini. Sebab, ketika dimintai tanggung jawab saatnya nanti, Presiden juga akan sendirian. Rasanya ingin mengingatkan kembali kata-kata Presiden Filipina Manuel Quezon (1878-1944) bahwa "Kesetiaan pada partai berakhir ketika kesetiaan pada negara dimulai".

Terlebih lagi penunjukan Kapolri adalah hak prerogatif Presiden. Jadi, institusi lain, termasuk DPR, terlebih lagi partai-partai atau kelompok kepentingan lain, tidak berhak. Inilah ujian bagi Presiden Jokowi yang baru berkuasa tiga bulan. Jika Presiden tidak mengambil keputusan tegas dalam kasus Budi Gunawan yang sudah tersangka ini, apa yang dilakukan saat menyusun kabinet dengan melibatkan KPK akhir tahun lalu sungguh tak ada artinya. Kasus calon Kapolri ini menjadi blunder. Segala langkah dan gebrakan yang dibuat pemerintahan Presiden Jokowi pada awal-awal pemerintahannya bisa rusak.

Bangsa dan negara ini butuh orang bersih. Orang cerdas akan tidak bernilai jika berlumuran kotoran. Hari-hari ini senja terasa cepat menggelap. Senja kala negeriku! Dalam temaram senja, di manakah sosok Royadin, brigadir polisi itu?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

KPK Benarkan Bansos Presiden yang Diduga Dikorupsi Dibagikan Jokowi

Nasional
Usai Rapat Bareng Jokowi, Telkomsigma Sebut Peretasan PDN Bisa Diselesaikan

Usai Rapat Bareng Jokowi, Telkomsigma Sebut Peretasan PDN Bisa Diselesaikan

Nasional
Menkominfo dan Kepala BSSN 'Menghilang' usai Ratas PDN di Istana, Tak Ikut Beri Keterangan Pers

Menkominfo dan Kepala BSSN "Menghilang" usai Ratas PDN di Istana, Tak Ikut Beri Keterangan Pers

Nasional
Jaksa KPK Ungkap Anak SYL Indira Chunda Kembalikan Uang Rp 293 Juta

Jaksa KPK Ungkap Anak SYL Indira Chunda Kembalikan Uang Rp 293 Juta

Nasional
Pastikan Data di Kementeriannya Aman, Menpan-RB: Kita Ada 'Backup' Data

Pastikan Data di Kementeriannya Aman, Menpan-RB: Kita Ada "Backup" Data

Nasional
Nasdem Sebut Presiden PKS Ralat Pernyataan, Wagub Diserahkan ke Anies

Nasdem Sebut Presiden PKS Ralat Pernyataan, Wagub Diserahkan ke Anies

Nasional
Hal Memberatkan Tuntutan Eks Sekjen Kementan, Tak Dukung Pemberantasan Korupsi

Hal Memberatkan Tuntutan Eks Sekjen Kementan, Tak Dukung Pemberantasan Korupsi

Nasional
Tuntutan SYL, Ada Pengembalian Uang dari Ahmad Sahroni dan Nasdem

Tuntutan SYL, Ada Pengembalian Uang dari Ahmad Sahroni dan Nasdem

Nasional
Eks Direktur Alsintan Kementan Dituntut 6 Tahun Bui

Eks Direktur Alsintan Kementan Dituntut 6 Tahun Bui

Nasional
Budi Arie Didesak Mundur, Projo: Masak Komandan Kabur?

Budi Arie Didesak Mundur, Projo: Masak Komandan Kabur?

Nasional
Selain Penjara 12 Tahun, SYL Juga Dituntut Bayar Uang Pengganti Rp 44,2 Miliar dan 30.000 Dollar AS

Selain Penjara 12 Tahun, SYL Juga Dituntut Bayar Uang Pengganti Rp 44,2 Miliar dan 30.000 Dollar AS

Nasional
Dugaan Pemerasan di Kementan, Eks Sekjen Dituntut 6 Tahun Kurungan

Dugaan Pemerasan di Kementan, Eks Sekjen Dituntut 6 Tahun Kurungan

Nasional
Buntut Peretasan, Pemerintah Kaji Contoh Pengelolaan PDN di Luar Negeri

Buntut Peretasan, Pemerintah Kaji Contoh Pengelolaan PDN di Luar Negeri

Nasional
Bertemu Delegasi Parlemen Thailand, Menpan-RB Anas Bahas Transformasi Digital

Bertemu Delegasi Parlemen Thailand, Menpan-RB Anas Bahas Transformasi Digital

Nasional
Presiden PKS Bertemu Surya Paloh Sebelum Umumkan Anies-Sohibul, Nasdem Ungkap Isi Pembicaraan

Presiden PKS Bertemu Surya Paloh Sebelum Umumkan Anies-Sohibul, Nasdem Ungkap Isi Pembicaraan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com