JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Ninik Rahayu, menilai, pembatasan jam kerja bagi perempuan yang diusulkan Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan pemikiran yang kolot. Menurut dia, usulan tersebut salah satu bentuk diskriminatif karena terkesan 'merumahkan' perempuan.
"Semua usulan 'merumahkan perempuan' mendasarkan diri pada pemikiran yang kolot dan kaku tentang peran perempuan," ujar Ninik melalui siaran pers, Jumat (5/12/2014).
Ninik mengatakan, hal tersebut seolah menunjukkan kodrat perempuan hanyalah menjadi ibu sebagai tugas utama dan menjadi pendamping suami. Sehingga perempuan yang bekerja dianggap sebagai sekedar pencari nafkah tambahan, yang akibatnya tidak dihargai serupa dengan pekerja laki-laki.
"Ini semua menyebabkan perempuan memikul beban berlipat ganda, di dalam dan di luar rumah," kata Ninik.
Menurut Ninik, perempuan dengan karier kerap dituding sebagai penyebab kenakalan anak-anak atau suami berpoligami. Padahal, kata dia, pengasuhan anak dan merawat keluarga adalah tanggungjawab yang sebanding antara laki-laki dan perempuan.
Ninik mengatakan, pembatasan jam kerja perempuan akan menepikan peran perempuan di dunia kerja sebab ia akan dipandang sebagai tenaga kerja yang tidak kompetitif dan tidak produktif.
"Dengan 'merumahkan perempuan' untuk semua alasan di atas, realisasi usulan ini merupakan langkah mundur dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan," kata Ninik.
Terlebih lagi, kata Ninik, usulan tersebut didukung oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Yuddi Chrisnandi, dengan alasan agar menciptakan keluarga yang harmonis. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama pun mengusulkan pemindahan lokasi kerja dekat rumah sebagai jalan keluar yang lebih baik.
Ninik mengatakan, niat baik saja tidak menjamin kebijakan yang dihasilkan tidak memiliki muatan yang diskriminatif. Ia menambahkan, pemerintah semestinya mengusulkan berbagai perbaikan fundamental jika kebijakan dirumuskan melalui pengujian yang cermat dan tuntas. Misalnya, sebut Ninik, ketersediaan infrastruktur kota ramah anak, pusat-pusat pengetahuan, aktivitas dan kreativitas anak muda punya andil dalam hal ini.
Keluarga yang harmonis pun perlu dibina dengan pendidikan pra nikah yang membangun pemahaman kesetaraan gender. "Sehingga mereka bekerjasama dalam tanggungjawab pengasuhan anak dan merawat keluarga berpengaruh dalam mencegah terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga," kata Ninik.
Selain itu, menurut Ninik, waktu cuti berbayar yang lebih panjang untuk ibu hamil dan melahirkan serta suami yang mengambil cuti pengasuhan anak menjadi alternatif lain yang perlu dipertimbangkan. Ninik mengatakan, berbagai indikator kebijakan konstitusional telah mereka bahas bersama kementerian terkait, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
"Dengan adopsi menyeluruh dari indikator itu dan dengan pendidikan yang sistematis untuk menguatkan pemahaman tentang Konstitusi dan keadilan gender, kami berharap usulan dan produk kebijakan yang diskriminatif dapat dicegah di masa mendatang," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.