JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (purn) Oegroseno dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan wacana tes keperawanan bagi calon polwan. Menurut dia, tes tersebut tidak substansial dalam menjawab persoalan Polri.
"Saya rasa enggak perlulah tes keperawanan. Apa substansinya? Apa yang enggak perawan enggak boleh jadi polisi? Apa polisi harus perawan? Enggak begitu kan? Kan yang penting bagaimana dia menjalankan tugas," ujar dia di salah satu rumah makan bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (22/11/2014).
Kehilangan keperawanan bagi wanita, lanjut Oegroseno, bukan hanya lantaran aktivitas seksual. Ada yang mengalami kekerasan seksual, ada juga yang selaput daranya rusak karena olahraga. Oleh sebab itu, tidak adil jika seseorang dinyatakan tidak bisa menjadi polwan atas dasar keperawanannya saja.
Oegroseno juga mengkritik pernyataan salah satu petinggi Polri yang menyebut bahwa tes keperawanan itu sekaligus untuk memeriksa kesehatan organ reproduksi yang bersangkutan. Menurut dia, pemeriksaan kesehatan organ reproduksi itu dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan telah menjadi polisi.
"Waktu saya tugas di Sulawesi atau Sumatera Utara, saya lupa, ada yang organ reproduksinya tidak sehat. Oleh dokter polisi, ya dia langsung diobati tanpa menggugurkan kariernya," ujar Oegro.
Kendati demikian, Oegroseno mengaku telah menanyakan perihal kebenaran tes keperawanan itu sendiri ke sejumlah polisi aktif, khususnya dokter di kepolisian. Oegroseno tak mendapatkan informasi bahwa tes tersebut dilakukan terhadap para calon taruni.
Tes keperawanan itu muncul melalui hasil penelitian Human Rights Watch (HRS). Hasil HRS itu didasarkan pada wawancara dengan sejumlah polwan, mantan polwan, atau yang pernah mendaftar sebagai calon polwan. "Tes keperawanan yang dilakukan polisi merupakan praktik diskriminasi yang melanggar dan mempermalukan perempuan," kata Nisha Varia, Associate Director untuk Hak Perempuan di HRW.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Agus Rianto buru-buru membantah. Dia mengatakan, yang ada adalah tes kesehatan yang memeriksa organ reproduksi. Tes itu penting dilakukan polwan untuk mengetahui apakah calon polwan memiliki penyakit atau gangguan organ reproduksi.
"Tes tersebut untuk mengetahui, apakah ada penyakit pada peserta ini, misalnya kanker serviks. Apakah kondisi organ reproduksi itu pada kondisi sediakala atau sudah ada rusak, apa karena kecelakaan, penyakit, atau hubungan," ujar Agus di Wisma Pesanggrahan, Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (18/11/2014).
Agus menuturkan, jika pada pemeriksaan organ reproduksi tersebut ditemukan adanya penyakit ataupun kerusakan, hal itu tidak serta-merta menggugurkan calon peserta untuk menjadi polwan. Selama penyakit atau kerusakan itu tidak berbahaya dan berdampak pada calon polwan selama menjalani pendidikan hingga nantinya menjadi polwan, calon polwan tersebut masih punya kesempatan untuk lulus menjadi polwan.
"Namun, tentu hasil penilaiannya akan lebih rendah daripada yang organ reproduksinya sehat," ucap Agus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.