JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan ketua umum Partai Golkar mendatang dinilai rawan terjadi politik uang jika menerapkan syarat dukungan minimal 30 persen DPD I untuk maju sebagai calon ketum. Syarat tersebut juga menghalangi kader-kader muda potensial untuk memimpin Golkar.
"Itu menyandera calon yang tidak punya kemampuan secara finansial. Hal itu rawan terjadi negosiasi politik, dan politik uang," ujar pengamat politik Heri Budianto kepada Kompas.com, Senin (17/11/2014).
Heri mengatakan, seharusnya Partai Golkar bersikap aspiratif dengan memberikan kesempatan bagi semua kader untuk maju menjadi calon ketua umum partai. Menurut Heri, dalam partai berlambang pohon beringin itu tidak ada kekuasaan terbesar maupun saham mayoritas yang menguasai kepemimpinan.
Ia berharap, melalui Musyawarah Nasional (Munas), Partai Golkar dapat memberikan kesempatan, khususnya bagi kader-kader muda untuk maju menjadi ketua umum. Hal itu, menurut dia, demi mengahadapi tantangan partai ke depan yang akan semakin dinamis.
"Mekanisme rekrutmen sebaiknya lebih cair. Berikan kesempatan bagi kader yang benar-benar berpotensi, tanpa harus melihat kemampuan keuangannya," kata Heri.
Bendahara Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto sebelumnya membenarkan adanya syarat bagi setiap calon ketua umum Partai Golkar, yakni mengantongi 30 persen dukungan DPD I. (baca: Syarat Dukungan 30 Persen DPD I Golkar untuk Memacu Kerja Calon Ketum)
Namun, ia membantah syarat itu merupakan upaya yang dilakukan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk menjegal calon lain yang akan maju pada saat musyawarah nasional (munas) mendatang. (baca: Setnov: Syarat 30 Persen Dukungan DPD I Tidak Ada di Dalam AD/ART)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.