Salah satu jargon selama masa kampanye yang patut ditunggu realisasinya dari pemerintahan baru ini adalah "Revolusi Mental". Namun, dari semua pembahasan Tim Transisi yang dibagikan kepada media, wujud dari revolusi tersebut belum terbayang konkret.
Sembari menanti wujud konkret dari "Revolusi Mental" itu, sebuah cerita sederhana Kompas.com dapatkan dari seorang warga negeri tetangga, Korea Selatan. Cerita ini sederhana saja, bertutur tentang upaya yang bisa jadi merupakan wujud dari sebuah "revolusi mental" ala mereka.
Pada satu masa di awal era 1980-an, cerita sederhana ini menjadi salah satu upaya Korea Selatan mendongkrak potensi pasar, nasionalisme, yang ujungnya adalah kemajuan industri seperti terlihat dari Korea Selatan pada hari ini.
"Kami menjalani hal ini ketika duduk di bangku sekolah dasar, kelas 1 atau 2," kata Louis Go, salah satu warga Korea Selatan yang sekarang tinggal di Indonesia, mengawali cerita kepada Kompas.com, saat ditemui pada awal September 2014. "Seminggu sekali, kami, para siswa, diminta guru mengeluarkan peralatan belajar dari tas."
Semua peralatan belajar tersebut, tutur Go, dijajarkan di meja belajar masing-masing. Lalu, guru kelas memeriksa satu per satu peralatan itu. "Pensil, penggaris, penghapus, buku, semua dijajar di meja," kenang dia. Sang guru kelas lalu memeriksa satu per satu peralatan murid-muridnya.
Bila ditemukan peralatan belajar bukan buatan Korea Selatan, sang guru tidak marah. Kepada murid yang memakai produk bukan buatan Korea Selatan itu, sang guru hanya memberikan wejangan singkat. "Nak, produk ini memang bagus, tetapi bukan buatan Korea Selatan."
Setiap pekan, ritual yang sama diulang. "Sesama murid saling melirik, siapa yang akan mendapat wejangan guru," kata Go. "Lama-lama, makin sedikit yang mengeluarkan peralatan belajar yang bukan buatan Korea Selatan. Malu sama teman-teman," ujar direktur kreatif manajemen artis Korea ini sembari tertawa.
Go mengatakan, pada era itu, produk Jepang masih jauh lebih berkualitas daripada barang sejenis buatan Korea Selatan. Katakanlah, sebut dia, pensil. Namun, seiring munculnya rasa malu para siswa bila tak memakai produk Korea Selatan, industri di Negeri Ginseng itu pun terus berbenah memperbaiki kualitas produknya. "Hasilnya, ya, seperti sekarang," kata dia.
Mendengar cerita dari Go, Kompas.com sontak teringat dengan kampanye-kampanye yang pada beberapa waktu mendominasi layar kaca dan beragam pemberitaan. "Gerakan Cinta Produk Indonesia" menjadi salah satu nama kampanye itu. Ada deretan nama kampanye lain, seperti "Beli Indonesia", "Gerakan Cinta Produk Dalam Negeri", dan nama-nama bersemangat serupa.
Namun, sembari tersenyum kecut, Kompas.com tak bisa balik bercerita soal kampanye ini kepada Go. Pertanyaan selintas yang langsung muncul di benak Kompas.com, ketika para pejabat atau selebriti menyuarakan kampanye tersebut, apakah semua yang mereka pakai pada saat berkampanye itu juga sudah buatan Indonesia? Sepatunya, bajunya, jam tangannya, pakaian dalamnya?
Sembari berharap demikian adanya, kepada Pak Jokowi, barangkali ini pekerjaan rumah sederhana untuk merumuskan apa itu "Revolusi Mental" dalam wujud yang nyata. Bila masih berupa kata-kata, meski usia kemerdekaan Indonesia tak jauh beda dari Korea Selatan, sepertinya bahkan jargon Tri Sakti yang juga adalah kampanye Pak Jokowi, masih butuh waktu lama untuk menjadikannya ada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.