”Siapa pun yang menjadi presiden di negara demokrasi, pasti akan merasakan suasana hate and love relations ini,” kata Presiden SBY dalam silaturahim insan pers nasional, Jumat (5/9) malam, di Jakarta.
Suasana hangat silaturahim itu diwarnai peluncuran buku SBY dan Kebebasan Pers. Buku terbitan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu berisi kumpulan testimoni 32 tokoh pers nasional tentang relasi pemerintahan SBY dan kebebasan pers.
Mereka antara lain Ketua Dewan Pers Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers dan pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo, Atmakusumah Astraatmadja, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, mantan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara, serta Ketua Umum PWI Margiono.
Dalam silaturahim itu, apresiasi disampaikan Bagir kepada Presiden SBY atas kontribusinya dalam ikut membangun kebebasan pers di Tanah Air. ”Negara melalui Bapak telah memberikan kebebasan pers,” kata Bagir.
Bahkan, dalam situasi kritik atau pemberitaan yang tidak mengenakkan bagi Presiden, menurut Bagir, reaksi SBY hanya mengeluh karena merasa diperlakukan tidak adil. Yudhoyono tidak menggunakan kekuasaannya untuk membawa persoalan pers itu ke ranah hukum, apalagi berupaya memberedel pers.
Atmakusumah juga memuji masa sepuluh tahun SBY sebagai masa terlama dalam sejarah kebebasan pers di Tanah Air, sejak pers hadir di Indonesia, 270 tahun lalu. Ia berharap, kebebasan pers tidak hanya dinikmati bangsa Indonesia pada 10 tahun pemerintahan SBY, tetapi juga berlanjut pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Di luar puja-puji yang disampaikan malam itu, ada kritik yang juga disampaikan tokoh pers dalam buku itu. Sabam menuliskan, ”Dalam soal kebebasan pers, SBY tampil lebih sebagai a man of ideas. Gagasannya memesona. Tetapi SBY kurang sebagai a man of actions.”
Sabam mencatat sejumlah ”pembiaran” yang dilakukan SBY saat sejumlah ketentuan perundang-undangan yang mengancam kebebasan pers hadir pada masa pemerintahannya. Ia mencontohkan penerbitan UU No 10/ 2008 tentang Pemilu dan UU No 42/ 2008 tentang Pilpres yang di dalamnya memuat ketentuan yang membolehkan memberedel pers. Beruntung, Mahkamah Konstitusi mengoreksi ketentuan pemberedelan pers itu karena tidak konstitusional.
Pembiaran juga terjadi saat sejumlah ketentuan dalam UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terbit pada masa pemerintahan SBY. Terakhir, pada awal 2014, pemerintahan SBY justru mengajukan Rancangan UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang di dalamnya memuat 61 pasal yang dapat memidanakan pers dan wartawan, dengan ancaman hukuman yang berat.
Yudhoyono mengatakan, tidak mudah menjadi presiden di negara yang demokratis. Namun, ia percaya, demokrasi dan kebebasan pers menjadi jalan yang jauh lebih baik daripada pemerintahan yang otoritarian. Ia justru berterima kasih dan mengapresiasi pers yang telah mengkritiknya karena dengan kritik itu ia dapat memerintah selama hampir 10 tahun.
”Pemimpin yang pantang dikritik dan menolak kebebasan pers, dan hanya menerima serba baik, sama saja dengan menyimpan bom waktu. Karena pemimpin yang bersangkutan bisa terlena seolah-olah semua menyukai dan mendukung, lalu tergoda menyalahgunakan kekuasaannya,” kata SBY. (Wahyu Haryo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.