Saksi yang berasal dari Nias Selatan itu adalah Irwansyah. Ia menjadi saksi Prabowo-Hatta di Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat Provinsi Sumatera Utara. Irwansyah menjelaskan, di Nias Selatan, terdapat 278 tempat pemungutan suara (TPS) di 27 kecamatan. Ia tak menyebut jumlah DPT di Kabupaten Nias Selatan. Namun, dari catatannya, pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan 26.064 suara dan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapat 171.401 suara di kabupaten tersebut.
"Sebenarnya, ada rekomendasi untuk ditinjau ulang pemungutan suara di seluruh TPS tersebut. Tapi, kata KPU (provinsi) kurang bukti sehingga rekomendasi dari Panwaslu tidak ditindaklanjuti," kata Irwansyah, dalam persidangan tersebut.
Meski demikian, Panwaslu Kabupaten Nias Selatan tetap bersikukuh agar KPU menjalankan rekomendasi yang diberikan. Pasalnya, jumlah pemilih mencapai 100 persen DPT.
"Di beberapa TPS bahkan lebih dari DPT, ada orang (sudah) meninggal ikut mencoblos, tidak terdaftar ikut mencoblos," ujarnya.
Irwansyah menambahkan, pada akhirnya, rekomendasi Panwaslu tidak dijalankan oleh KPU dan rekapitulasi di Kabupaten Nias Selatan pada 16 Juli 2014 tetap berlanjut ke tingkat Provinsi Sumatera Utara. Saksi dari pihak Jokowi-JK, kata Irwansyah, tak mengajukan protes.
Dalam persidangan yang sama, tim hukum Prabowo-Hatta juga menghadirkan saksi lain untuk membuktikan kejanggalan proses pemilu di Nias Selatan. Saksi tersebut adalah Munaman Halal yang diberi mandat menjadi saksi di tingkat Panitia Pengawas Kecamatan (PPK).
Ia menjelaskan, kejanggalan terjadi di Desa Sisarahili Oyo, Kecamatan Lolowau. Di desa tersebut, setidaknya ada dua TPS yang partisipasi pemilihnya mencapai 100 persen. Kejanggalan itu ditemukan di TPS 1, Desa Sisarahili Oyo. Di TPS itu, jumlah DPT mencapai 116 orang, dengan perolehan suara untuk pasangan Prabowo-Hatta sebanyak 2 suara, pasangan Jokowi-JK 113 suara, dan satu suara tidak sah.
"Itu di kampung saya. Padahal, di situ ada 18 orang yang merantau ke pulau seberang, dan ada yang sudah meninggal. Pertanyaan saya, kenapa 'mayat-mayat' itu bisa memilih?" kata Munaman.
Ketua Majelis Hakim MK Hamdan Zoelva menilai pernyataan Munaman kurang etis. Ia pun menegur Munaman.
"Jangan tanya ke saya, justru hakim mau bertanya ke Anda," kata Hamdan.
Setelah meminta maaf kepada majelis hakim, Munaman kembali melanjutkan kesaksiannya. Ia mengaku tak melapor ke Panwaslu setempat meski sadar ada kejanggalan jumlah partisipasi pemilih. Selanjutnya, masih untuk desa yang sama, tepatnya di TPS 2, Munaman menyatakan juga terjadi kejanggalan. Jumlah DPT sebanyak 224 dibagi untuk Prabowo-Hatta dua suara dan Jokowi-JK 221 suara.
"Di situ juga termasuk ada yang meninggal. Saya enggak melapor ke Panwaslu karena penyelenggara sudah pada bubar. Fakta ini ditemukan setelah hari pencoblosan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.