Oleh: Topan Yuniarto
Peran media sosial melalui internet mulai diperhitungkan terkait dengan penggalangan massa pendukung. Tidak terhindarkan perang antar-pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa versus pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla marak terjadi di media sosial. Kedua kubu beradu opini untuk menggalang dukungan.
Media sosial (social media) merupakan media jejaring tempat masyarakat bersosialisasi dengan karakter bebas dan tanpa batasan geografis. Media sosial berbasis internet ini menciptakan ruang bagi masyarakat untuk dapat bersosialisasi secara bebas.
Survei International Telecommunication Union (ITU) pada Januari 2014 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 72.700.000 orang, atau setara dengan 29 persen populasi masyarakat Indonesia. Jumlah pengguna itu meningkat dari tahun ke tahun.
Penetrasi jumlah pengakses internet melalui perangkat bergerak mencapai 14 persen dari jumlah populasi. Sementara pengakses internet melalui komputer personal mencapai rata-rata 5 jam 47 menit dan pengguna perangkat bergerak mencapai rata-rata 2 jam 30 menit. Melihat kenyataan ini, menggapai netizen bagi masing-masing kandidat merupakan cara yang murah meriah jika dilakukan secara efektif.
Dalam sepekan terakhir, jumlah percakapan tentang capres di media sosial yang dimonitor oleh lembaga survei Politicalwave menunjukkan tren yang terus meningkat. Pada 25 Juni 2014, percakapan tentang Jokowi-Jusuf Kalla di media sosial sebanyak 71.464 percakapan, sedangkan di hari yang sama percakapan tentang Prabowo-Hatta sebanyak 50.853 percakapan. Tren yang membicarakan capres Jokowi terus meningkat tajam hingga menembus 133.132 percakapan pada 29 Juni 2014, sedangkan Prabowo-Hatta hanya menembus 75.342 percakapan.
Percakapan paling seru pada 29 Juni 2014 adalah saat berlangsung debat calon wakil presiden Hatta Rajasa versus Jusuf Kalla. Jumlah percakapan di Twitter melonjak saat berlangsung dan seusai debat cawapres. Hal yang sama terjadi pada pekan sebelumnya saat debat mengadu capres dan cawapres. Panggung debat kali ini sangat menggelitik warga media sosial untuk aktif mengomentari isi dan penampilan capres ataupun cawapres saat debat.
Jika dijumlahkan, porsi percakapan tentang Jokowi-Jusuf Kalla sebanyak 575.364 atau 60,8 persen, berselisih jauh dengan percakapan tentang Prabowo-Hatta Rajasa sebanyak 371.316 atau 39,2 persen.
Potensi raih dukungan
Capres dan cawapres memiliki tim yang mengelola isu, baik saat kampanye di lapangan, debat capres, maupun tim yang memonitor diskusi di sosial media. Jika kedua kubu tim ini cerdik, potensi meraih dukungan dari warga media sosial menjadi semakin besar.
Namun, hal ini tidak mutlak karena pengguna media sosial sudah memiliki preferensi pilihan masing-masing. Warga media sosial adalah warga yang cenderung melek teknologi dan memiliki tingkat intelektual cukup.
Jumlah pengguna atau akun yang terlibat perbincangan tentang capres di media sosial terbelah menjadi dua kubu. Akun yang ikut terlibat perbincangan tentang Prabowo-Hatta Rajasa sebanyak 119.049 akun (48 persen). Sementara user yang terlibat membincangkan Jokowi-Jusuf Kalla sebanyak 128.388 akun (51,9 persen). Meskipun perbedaannya hampir 4 persen saja, porsi ini bisa dikatakan cukup berimbang dalam pertarungan opini.
Twitter menjadi wahana yang sangat disukai warga media sosial untuk membincangkan para capres dibandingkan Facebook. Selama sepekan terjadi 327.244 percakapan tentang Prabowo-Hatta Rajasa di Twitter, sedangkan di Facebook hanya 34.024 percakapan. Demikian pula percakapan tentang Jokowi-Jusuf Kalla di Twitter dalam pekan ini sebanyak 534.845 percakapan, sedangkan di Facebook hanya 29.770 percakapan.
Warga media sosial secara ekonomi tergolong warga kelas menengah dan memiliki akses informasi dan modal untuk mendapatkan akses tersebut dengan mudah. Namun, elektabilitas capres sesungguhnya tidak bisa semata ditentukan oleh kehadiran percakapan capres di sosial media.
Percakapan media sosial sangat populer di perkotaan. Namun, bagi warga pedesaan yang kesulitan akses internet, media televisi menjadi media utama untuk informasi. Melalui media televisi, masyarakat pedesaan bisa mengenal sosok capres dan cawapresnya.