BENGKULU, KOMPAS.com — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengaku gelisah luar biasa sebelum memutuskan bergabung dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ini disampaikannya saat meresmikan kantor MMD Initiative wilayah barat di Provinsi Bengkulu, Jumat (20/6/2014).
"Waktu pertama kali dukung Prabowo, saya gelisah luar biasa," kata Mahfud.
Kegelisahan tersebut, jelas dia, timbul akibat banyaknya kritik yang mempertanyakan mengapa ia justru membelot mendukung capres yang terlibat kasus pelanggaran HAM berat. Ia melanjutkan, di tengah kegelisahan itu, dia harus menentukan pilihan karena sebagai Muslim harus punya pilihan dalam urusan kepemimpinan.
"Agama mengajarkan umat harus memiliki pimpinan karena jika tak memiliki pemimpin, maka lebih berbahaya sebuah bangsa itu," lanjut dia.
Ada dua calon, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Seobyektif mungkin ia berpikir, berdiskusi dengan banyak pilihan melalui segala pendekatan. Akhirnya, Mahfud memutuskan bergabung dengan Prabowo-Hatta.
"Secara manusiawi, tak ada pemimpin yang ideal dari kedua pasangan ini. Namun, saya memilih yang paling kecil mudaratnya. Sesuai usul fikih, kalau engkau menghadapi dua pilihan yang sama-sama tidak baik, maka pilihlah yang tidak baiknya lebih sedikit, atau baiknya lebih banyak kita pilih, akan lebih berbahaya jika tak ada pemimpin," ujar Mahfud.
Isu HAM merupakan pertimbangan utama sebelum Mahfud memutuskan bergabung dengan Prabowo, meski ia mengelak dengan alasan perdebatan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan masih belum menemukan titik final.
"Prabowo masih bisa diperdebatkan keterlibatannya dalam kasus pelanggaran HAM. Ini juga bagian perenungan panjang saya, sementara dari sisi kecerdasan, loyalitas pada bangsa tak memiliki cacat, satu-satunya sandungan Prabowo adalah isu pelanggaran HAM," ujar dia.
Sementara itu, menimbang Joko Widodo, ia mengatakan, selama dua tahun memimpin Jakarta, ia melihat tak ada hal substantif yang ditelurkan Joko Widodo. Tak ada visi besar dari Jokowi untuk membangun bangsa besar seperti Indonesia.
"Kalaupun sekarang memiliki visi misi capres, bisa jadi itu dibuat oleh tim," katanya. Ia menilai Jokowi terlalu lemah dan banyak dikendalikan. "Kita tak ingin menspekulasikan negara ini kepada orang yang lemah dan tak jelas," demikian ujar Mahfud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.