Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awas, Politik Genderuwo

Kompas.com - 18/03/2014, 07:19 WIB


Oleh: Sindhunata

Di perempatan sebuah kota terlihat dua baliho besar berjajar. Baliho itu bergambar lelaki dan perempuan, dandanannya mewah dan cantik.

Orang tahu, mereka sepasang suami-istri yang sama-sama nyaleg untuk Pemilu 2014. ”Mohon doa restu”, demikian tertulis pada baliho itu. Di mana-mana terlihat baliho atau poster caleg. Gambar-gambar caleg tak dikenal tiba-tiba muncul. Untuk meyakinkan dirinya, caleg mendompleng figur-figur terkenal. Maka di baliho-baliho atau poster-poster itu kecuali foto diri mereka terpampang foto Megawati atau SBY atau Hamengku Buwono IX atau Bung Karno. Gambar-gambar ini mengungkapkan, mereka sendiri tak seberapa yakin akan otoritasnya karena itu mereka perlu nunut otoritas.

Muncul sebutan sinis: caleg bonek (modal nekat), caleg waton maju (asal maju), caleg nyuwun pangestu (bermodal mohon doa restu), caleg ojo lali jape methe coblos sedulur dhewe (pedomannya jangan lupa cobloslah teman sendiri), dan lain-lain. Banyak orang yang potongan ataupun auranya tak meyakinkan, tapi tak rikuh mengenalkan diri sebagai caleg. ”Wong ingah-ingah ngono kok wani-wanine nyaleg yo? (Canggung dan wagu begitu kok berani nyaleg ya),” begitu komentar orang.

Para caleg itu nyaris tak punya otoritas politik yang diharapkan masyarakat. Otoritas adalah fundamental bagi politik. Di zaman modern yang amat kompleks, memperoleh otoritas di bidang mana pun, apalagi politik, sesungguhnya bukan hal mudah. Otoritas adalah prasyarat bagi kepemimpinan. Tak mungkin pemimpin menjalankan tugasnya bila tak punya otoritas. Dalam hal ini otoritas adalah semacam inteligensi sosial yang mampu menyelesaikan dan mendamaikan pelbagai tuntutan sosial yang saling bertentangan. Ini mengandaikan, orang yang berotoritas sekaligus harus punya kematangan dan keterampilan psikologis untuk berempati dengan kepentingan yang berseberangan dengan kepentingan dirinya.

Bagi kebanyakan orang, melihat keutamaan lawan bukanlah hal mudah. Biasanya orang hanya melihat apa yang negatif pada lawannya. Lain dengan orang yang punya otoritas, apalagi otoritas politik. Ia dengan mudah melihat keutamaan lawan, mengakuinya, dan mempersatukan keutamaan yang ada untuk meraih tujuan bersama. Selain itu, otoritas juga mensyaratkan, orang mampu berpikir dalam kedalaman dan keluasan, bukan hanya untuk jangka pendek, melainkan juga jangka panjang. Kemudian ia mesti mampu mengoperasionalkan semuanya dalam kebijaksanaan dan langkah konkret. Karena itu, otoritas juga menuntut keterampilan-keterampilan praktis, seperti kemampuan organisasi, koordinasi, dan manajemen.

Mudah pecah

Dalam khazanah filsafat politik, otoritas diletakkan tidak dalam apa yang disebut die Politik, tapi dalam das Politische. Die Politik adalah politik praktis sehari-hari, sedangkan das Politische adalah politik sampai ke dasar-dasarnya. Das Politische bisa disebut fundamen yang memungkinkan politik bisa berjalan. Namun, sering die Politik atau politik harian dan das Politische atau fundamen politik saling bertentangan. Sebab, tak jarang politik harian terjerumus ke omong kosong, kebohongan, janji palsu, pendangkalan masalah, dan konsensus asal-asalan. Adapun fundamen politik menghendaki kejujuran, ketulusan, kebenaran, pendalaman masalah, dan pencapaian konsensus lewat pengambilan keputusan bermartabat.

Fundamen politik itu tak pernah bisa direduksi melulu menjadi politik. Langkah politik pemerintah sebijak apa pun tetap belum bisa mengungkapkan secara memadai nilai-nilai yang terkandung dalam fundamen politik. Fundamen politik misalnya mengakui pertentangan antara kawan dan lawan sebagai fakta abadi. Tetapi, diakui sebagai nilai yang abadi pula bahwa manusia bisa menyelesaikan dan mempersatukan pertentangan itu. Politik yang mengingkari fakta dan nilai ini akan mengingkari fundamennya. Politik harus menerima dan menyelesaikan pertentangan kawan dan lawan, tapi disertai kesadaran bahwa politik takkan pernah bisa menyelesaikan masalah itu sampai tuntas. Menerima pertentangan sebagai fakta dan menyelesaikannya tanpa putus asa walau sadar penyelesaian takkan pernah bisa setuntas-tuntasnya, itulah salah satu fundamen politik demokrasi.

Fundamen politik macam itu lain dengan politik dangkal-dangkalan yang mendoktrinkan bahwa kesatuan itu ada sejak semula karena itu kesatuan mudah diusahakan. Bagi fundamen politik, bukan kesatuan, melainkan perbedaan dan pertentanganlah yang ada sebagai awal. Penerimaan akan perbedaan inilah dasar riil bagi politik sehingga politik dimungkinkan untuk mengusahakan kesatuan secara riil pula. Intelektual Perancis, Oliver Marchart, mengatakan, demokrasi bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan sesuatu yang akan selalu datang. Karena itu, dengan demokrasi, kita harus selalu berani memulai hal baru dengan gairah, betapapun sulit dan perihnya. Karena itu, jalan menuju demokrasi sangatlah panjang. Di Eropa pun pada awalnya tiada demokrasi. Yang ada kekuasaan otoriter. Di Inggris, baru dengan lahirnya Magna Charta 1215, kekuasaan absolut para raja dibatasi. Di Jerman, tahun 1517 Martin Luther menyerang kekuasaan tanpa batas hierarki gereja. Inilah saat benih kebebasan ditaburkan. Baru pada abad-abad berikutnya lahir pikiran-pikiran baru, yang mengakhiri hak istimewa individu karena garis keturunan, baik di bidang sosial maupun politik, dan dari sinilah lahir demokrasi.

Di Perancis, Revolusi 1789 menumbangkan monarki absolut. Toh baru seratus tahun kemudian muncul demokrasi yang relatif stabil. Demokrasi itu pun sempat diguncang dengan pelbagai cobaan dan gangguan: pemberontakan dan rezim teroris Robespierres, penumpasan perlawanan para petani di Perancis wilayah barat, munculnya dua kekaisaran yang saling berselisih dan menyeret seluruh Eropa dalam konflik dan peperangan, yang menghancurkan rakyatnya sendiri (Die Zeit, 11/7/2013). Di Cile, jalan menuju demokrasi juga harus didahului dengan tahun-tahun kelam di bawah rezim diktator Augusto Pinochet. Hal sama dialami Indonesia. Sebelum merekah reformasi 1998, 30 tahun kita hidup di bawah rezim Orba yang menindas kebebasan dan memakan sekian banyak korban.

Stres sosial

Demokrasi memang nilai yang mahal. Dan, demokrasi itu sangatlah rawan. Tak ada hal yang demikian mudah pecah seperti demokrasi. Sekali demokrasi itu pecah, suatu bangsa bisa diporakporandakan oleh kekacauan. Jalan termudah mengatasi kekacauan itu adalah otoriterisme atau diktatorisme, yang di mana-mana sudah terbukti senang menindas dan meneguk darah rakyat sendiri. Kita pun pernah mengalami itu. Betapapun rawannya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling tulus dan jujur karena hanya demokrasilah tempat di mana rakyat diakui martabatnya dan bisa menuntut hak dan menyalurkan aspirasinya.

Karena itu, betapapun sulitnya, demokrasi harus tetap diperjuangkan. Dan, seperti terlihat di atas, tidaklah memadai jika kita memperjuangkan demokrasi hanya lewat die Politik, tanpa das Politische atau fundamen politik itu sendiri. Pada bangsa Indonesia, das Politische itu kiranya sudah dilihat secara intuitif dan dirumuskan dengan jelas, yakni empat pilar hidup berbangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Seperti das Politische lain, empat pilar hidup berbangsa tak bisa diperjuangkan dengan tergesa-gesa, apalagi di tengah pertentangan dan perbedaan yang takkan pernah tuntas terdamaikan. Perlu kesabaran dan napas panjang memperjuangkannya.

Das Politische itu melingkupi otoritas. Dan, hanya dengan otoritas, bukan melulu dengan politik praktis, das Politische bisa dihidupkan dan dijalankan. Empat pilar hidup berbangsa kita terkulai lemah dan nyaris lumpuh, mungkin karena politikus-politikus kita sangat tidak mempunyai otoritas dalam lingkup das Politische itu. Politikus kita, lebih-lebih anggota DPR, hanya pintar bermain dalam ranah die Politik, hingga mereka menjalankan tugasnya dengan dangkal, mengobral janji kosong, berbohong, dan membuat politik jadi politik uang. ”Otoritas yang palsu membuat masyarakat stres dan sakit. Dan, di antara segala stres, stres sosial adalah yang paling jelek,” begitu dikatakan Andreas Meyer-Lindenberg, Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Manusia, di Mannheim.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com