Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis Politik: Menyeberang Jalan

Kompas.com - 11/03/2014, 09:13 WIB


KOMPAS.com
- DI SUDUT Jalan Ciragil, Jakarta Selatan, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Viraguna Bagoes Oka dan beberapa kolega mengajak saya berdiskusi mengenai prospek pemilu. Semua sependapat bahwa pemilu akan berjalan aman. Namun, ketika bicara soal calon presiden, yang terdengar adalah desah kecil.

Sebagai bagian dari kognitariat, mereka berharap PDI-P segera mengumumkan calon presidennya. Ibarat aliran sungai, preferensi politik masyarakat akan jelas ke mana bermuara. Sejauh ini, dari ketiga partai yang diprediksi akan memperoleh suara signifikan, Partai Golkar dan Gerindra masing-masing telah mengusung calon presidennya, yaitu Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto. Tinggal calon presiden dari PDI-P yang ditunggu. Adapun Partai Demokrat hingga kini geliatnya masih sulit diprediksi.

Mendengar desah para kolega Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Iluni FISIP UI) itu, saya tersenyum. Penulis meyakini bahwa be-
lum diumumkannya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden, misalnya, karena Megawati Soekarnoputri memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat. Ibarat menyeberang jalan, ia ingin menuntun dan memastikan kader terbaiknya selamat ketika menyeberang.

Dengan demikian, berbeda dengan pendapat beberapa analis yang mengatakan sejatinya Megawati masih menginginkan maju jadi calon presiden, saya justru sebaliknya. Sebagai pribadi, Megawati sudah ”duduk” (resolved). Ia bukan saja berhasil mengendalikan dan mengonsolidasi partai yang kadernya terkenal sulit diatur selama lebih dari dua dasawarsa, melainkan juga melahirkan politisi muda mumpuni. Ia putri presiden, pernah wakil presiden, dan presiden.

Dari perspektif kontestasi politik dan kekuasaan, kalaupun Megawati memiliki ambisi politik, itu bukan lagi perkara kedudukan. Lebih dalam dari itu, ia ingin melihat terwujudnya Indonesia Raya di tangan para kader terbaiknya.

Dengan konstruksi berpikir seperti itu, dan sejalan dengan hampir semua hasil survei, Jokowi dan Prabowo merupakan dua figur di puncak elektabilitas. Keduanya mempunyai narasi lebih kuat dibandingkan dengan figur-figur lain. Namun, apabila Prabowo masih bertumpu pada gerak cepat dan manuver pribadi seperti kesan yang berlaku selama ini, ambang batas presiden dan absennya partai politik yang mau berkoalisi dengan Gerindra dapat menjadi batu sandungan nantinya.

Jika itu terjadi, posisi Aburizal dan siapa pun pemenang konvensi Partai Demokrat secara hipotesis akan meningkat. Akan tetapi, secara prediktif, bangunan narasi yang akan mereka rajut kalah kuat dibandingkan narasi yang melekat pada Jokowi. Cukup mengusung tagline sederhana, misalnya ”Biar Kerempeng tapi Banteng”, bukan saja secara komunikasi politik sosok Jokowi menjadi istimewa, melainkan secara narasi juga menjadi solid. Ia manunggal dengan PDI-P. Secara teori, narasi ini sulit dipatahkan lawan.

Dalam perspektif budaya politik, riuhnya wacana calon presiden selama ini menegaskan bahwa kultur politik paternalistik tetap melekat dalam alam bawah sadar bangsa Indonesia. Sistem demokrasi yang menjadi konsensus nasional ternyata belum bisa memperlemah, apalagi menghapus, kultur politik tersebut. Akibatnya, figur penting lain yang layak menjadi wakil presiden tidak dianggap strategis dalam diskursus publik.

Padahal, dalam praksis, figur orang nomor dua tersebut sangat menentukan kualitas pemerintahan dalam memanggul konstitusi. Bahkan, kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah kendali Raja Hayam Wuruk, misalnya, meski ada kontroversi di dalamnya, melekat peran signifikan Patih Gadjah Mada. Ini berlaku juga untuk Bung Hatta dan Jusuf Kalla ketika menjadi wakil presiden.

Sehubungan dengan hal tersebut, kombinasi karakter presiden dan wakil presiden yang komplementer menjadi penting. Hayam Wuruk yang kalem, pemerintahannya menjadi moncer ketika didampingi Gadjah Mada yang aktif jika tidak boleh disebut agresif. Bung Karno menjadi seimbang ketika didampingi Bung Hatta dan Susilo Bambang Yudhoyono bergerak lebih dinamis ketika didampingi Jusuf Kalla.

Dengan istilah lain, apabila calon presidennya, meminjam istilah Buya Syafii Maarif berkarakter ”rem”, calon wakil presidennya harus seperti ”gas”. Dengan demikian, ada keseimbangan. Namun, kalau karakter keduanya sama, seperti pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, pemerintahan dipastikan akan lamban.

Dengan ilustrasi itu, selain figur calon presiden, kini sudah saatnya perhatian juga harus diletakkan pada sosok calon wakil presiden. Para tokoh yang mempunyai ketegasan sikap dan sudah selesai dengan dirinya layak untuk dimunculkan. Sementara itu, mari kita menunggu sejenak Megawati yang sedang menuntun kader terbaiknya selamat ketika menyeberang jalan.

SUKARDI RINAKIT, Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com