JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah meminta Mahkamah Agung membuat aturan terkait penerapan peninjauan kembali (PK) pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan PK dilakukan berkali-kali. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menilai putusan hukum harus mengandung makna kepastian sehingga MA perlu memberikan batasan dalam pengajuan PK.
“Saya kira MA tentunya akan bersikap dan kami harapkan bisa meluruskan masalah ini supaya terjemahannya tidak membingungkan masyarakat. Kalau berkali-kali kan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Amir di kantor Presiden, Jakarta, Senin (10/3/2014).
Amir berpendapat, putusan MK terkait PK tidak bisa dimaknai berkali-kali. Putusan itu harus dimaknai memiliki batas. Hukum, lanjutnya, harus mengandung kepastian, keadilan dan azas manfaat.
“Tentu maksudnya harus diterjemahkan MA bahwa berkali-kali tidak berarti tidak ada batas,” ucap Amir.
Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK bisa berkali-kali. Putusan tersebut atas permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (istri dan anak Antasari).
Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun, meminta pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang untuk membatasi pengajuan PK cukup dua kali. Jika pembentuk UU memerlukan waktu yang lama, ia mengusulkan masalah itu diatur dalam peraturan Mahkamah Agung.
Menurut Gayus, putusan MK yang membatalkan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP telah menimbulkan kekosongan norma. MK tidak punya kewenangan membuat norma baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Menurut dia, putusan MK itu juga tidak serta-merta dapat dibaca bahwa PK bisa dilakukan berkali-kali tanpa batas sehingga tidak memberikan kepastian hukum.
Kekhawatiran bahwa putusan MK itu akan membuat PK dilakukan terus-menerus atau untuk mengulur waktu pelaksanaan eksekusi perlu disikapi pembentuk UU atau MA dengan segera mengisi kekosongan norma setelah Pasal 268 Ayat (3) KUHAP dibatalkan. MA punya kewenangan mengatur hal tersebut. Ini karena Pasal 79 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA memberikan kewenangan bagi lembaga itu untuk mengatur hal-hal yang diperlukan demi kelancaran penyelenggaraan peradilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.