Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Usman-Harun di Orchard Road

Kompas.com - 11/02/2014, 18:04 WIB


Oleh: Hindharyoen Nts, Kompasianer

Singapura ngambek sebagai bentuk protes pemberian nama kapal perang baru KRI Usman-Harun. Argumen dan alasannya sangat sumir. Pemberian nama KRI Usman-Harun akan melukai rakyat Singapura, terutama korban bom Mac Donald House (MDH).

Usman-Harun, dua prajurit KKO, pengebom MDH 10 Maret 1965 dan kemudian dieksekusi mati di tiang gantungan di Penjara Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968 oleh Singapura, dianggap sebagai teroris. Sementara Pemerintah Indonesia menetapkan kedua prajurit KKO itu sebagai pahlawan.

Dari Desa Jatisaba, Kampung Tawangsari, Purbalingga, Jateng, Ny Sitti Ridiah, kakak kandung Usman Djanatin, ikut menanggapi protes Singapura itu.

“Langkah TNI AL memberi nama KRI Usman-Harun sama sekali tidak ada kaitannya dengan Singapura. Kenapa Singapura mempermasahkan, ini kan murni urusan Indonesia. Singapura boleh saja menganggap Usman-Harun sebagai teroris, tetapi bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, mereka adalah pahlawan yang gugur melaksanakan tugas negara.”

Siapa yang paling diuntungkan dengan adanya konflik ini? Tentu ada pihak-pihak yang sedang memancing di air keruh dan akan terus mengompori agar perseteruan ini terus memanas. Bukan tidak mungkin di balik protes Singapura memang merupakan skenario besar yang sengaja direkayasa. Pihak-pihak yang sudah sejak lama berambisi menjadi penguasa tunggal di perairan Selat Malaka yang sangat sibuk dan strategis sudah sangat ngedreng membangun pangkalan militer di kawasan ini.

Jejak di Orchard Road

Minggu kedua bulan Maret 1964. Kurang dari 10 bulan setelah Presiden Republik Indonesia mengumumkan keputusan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 3 Mei 1964: perintah pengerahan sukarelawan Indonesia dalam rangka pengganyangan dan penghancuran proyek neokolonialisme.

Sebuah bom meledak di Mac Donald House (MDH) - terletak di kawasan Orchard Road, Singapura. Enam orang tewas, puluhan toko di dekat Hotel MD rusak, serta puluhan kendaraan roda empat rusak berat dan ringan. (Informasi lain menyebut korban tewas 3 orang, 33 luka -red)

Sekitar tiga tahun dari peristiwa peledakan bom seberat 12,5 kilogram, tepatnya 17 Oktober 1968, dua prajurit KKO AL, Usman dan Harun, dieksekusi mati di tiang gantungan. Kedua sukarelawan prajurit itulah yang bersama seorang sukarelawan sipil, Gani alias Aroeb, meledakkan bom di MDH.

Mereka dieksekusi mati di Penjara Changi, Singapura, setelah permohonan kasasinya ditolak oleh Privy Caunsil di London, Inggris. Badan Pengadilan ini mengeluarkan putusan menolak permohonan kasasi kedua prajurit KKO itu pada tanggal 22 Mei 1968.

Protes

Hampir 46 tahun kemudian, setelah eksekusi mati kedua sukarelawan prajurit KKO AL tersebut, Pemerintah Singapura memprotes rencana Pemerintah Indonesia yang akan memberi nama salah satu kapal perang baru buatan Inggris dengan nama KRI Usman-Harun.

Ternyata Pemerintah Singapura begitu alergi terhadap sosok Usman-Harun. Padahal, Singapura yang menghukum mati kedua Prajurit KKO (Korps Komando Operasi) AL. Sebab, ketika Pemerintah Indonesia akan mengabadikan nama Usman-Harun sebagai nama salah satu kapal perang jenis fregat buatan Inggris – KRI Usman-Harun, Pemerintah Singapura memprotesnya.

Pemberian nama itulah yang diprotes Singapura karena dianggap akan melukai rakyat Singapura, terutama para korban peledakan bom yang dilakukan oleh kedua prajurit bersama seorang sukarelawan sipil bernama Gani bin Aroeb.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Angota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Angota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com