Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang dan Tarik Ulur Perppu MK

Kompas.com - 19/12/2013, 10:07 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi kini mengundang kontroversi di Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak DPR menerima Perppu tersebut dari pemerintah pada akhir November 2013, hingga kini sembilan fraksi di DPR belum menemukan kata sepakat. Sebagian besar fraksi yang menolak Perppu ini menyatakan Perppu MK sangat diskriminatif terhadap partai politik.

Pembahasan Perppu yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 21 Oktober ini memang terbilang alot jika dilihat dari syarat penerbitan Perppu yang mendesak dan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Penerbitan hingga pengiriman salinan Perppu ke DPR pun terbilang cukup lama.

Perjalanan tarik ulur Perppu MK dari pemerintah hingga di parlemen:

2 Oktober 2013

Penerbitan Perppu MK tak lepas dari peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar atas dugaan menerima suap dari seorang pengacara bernama Susi Tur Andayani di rumah dinasnya oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akil pun langsung dibawa ke kantor KPK dan ditetapkan sebagai tersangka bersama Susi dan Deviardi, pelatih golf Akil.

Perkembangan selanjutnya, adik Gubernur Banten Ratut Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), juga ditetapkan sebagai tersangka. Akil disangkakan menerima suap dalam penanganan sengketa pilkada Lebak dan pilkada Gunung Mas.

Peristiwa penangkapan ini pun menggegerkan banyak pihak. Citra lembaga MK tercoreng. Selain itu, mulai muncul keraguan atas putusan-putusan sengketa pilkada lain yang ditangani Akil.

KOMPAS.COM/Sandro Gatra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
5 Oktober 2013

Setelah Akil tertangkap, Istana bereaksi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memanggil enam petinggi lembaga negara pada 5 Oktober 2013 ke Istana Negara secara mendadak, seusai menghadiri peringatan HUT Tentara Nasional Indonesia di Bandara Halim Perdanakusuma. Enam petinggi lembaga negara yang hadir yakni Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sidarto Danusubroto, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo, dan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.

Seusai menggelar pertemuan, Presiden SBY menyebut peristiwa penangkapan Akil sebagai sebuah tragedi politik dan penegakan hukum di Indonesia. Presiden pun merumuskan sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan MK. Salah satunya adalah menerbitkan perppu.

17 Oktober

Tiga belas hari setelah Akil ditangkap KPK, Presiden SBY mengeluarkan perppu pada Kamis (17/10/2013). Perppu dengan Nomor 1 tahun 2013 itu memuat tiga substansi. Pertama yakni penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal 7 tahun dari partainya. Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu di seleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Dan ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dipermanenkan.

18 Oktober

Setelah Perppu diterbitkan, MK langsung bereaksi. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan, tidak ada suatu hal mendesak yang harus ditindaklanjuti pihaknya terkait Perppu MK itu. Menurutnya, tidak ada aturan dalam perppu yang sangat mendesak untuk langsung dilakukan MK. Hamdan enggan berkomentar lebih lanjut soal isi perppu ini lantaran Perppu MK masih berpeluang digugat ke MK.

Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan MK Harjono mengklaim, pihaknya memiliki konsep yang lebih baik dari perppu yang telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Konsep tersebut terkait dengan lembaga yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap MK. Menurut Harjono, yang juga hakim konstitusi ini, pengawasan MKH yang permanen yang ada dalam perppu MK bersifat represif. Sementara itu, Harjono mengatakan pengawasan yang diperlukan MK adalah yang bersifat preventif. Belakangan, MK membentuk Dewan Etik sendiri.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 24 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Polri Sebut Mayoritas Judi Online Dioperasikan dari Mekong Raya

Polri Sebut Mayoritas Judi Online Dioperasikan dari Mekong Raya

Nasional
KPK Sadap Lebih dari 500 Ponsel, tetapi 'Zonk' karena Koruptor Makin Pintar

KPK Sadap Lebih dari 500 Ponsel, tetapi "Zonk" karena Koruptor Makin Pintar

Nasional
Polri Sebut Bandar Judi “Online” Akan Dijerat TPPU

Polri Sebut Bandar Judi “Online” Akan Dijerat TPPU

Nasional
Pimpinan KPK Sebut OTT 'Hiburan' agar Masyarakat Senang

Pimpinan KPK Sebut OTT "Hiburan" agar Masyarakat Senang

Nasional
Dapat Banyak Ucapan Ulang Tahun, Jokowi: Terima Kasih Seluruh Masyarakat Atas Perhatiannya

Dapat Banyak Ucapan Ulang Tahun, Jokowi: Terima Kasih Seluruh Masyarakat Atas Perhatiannya

Nasional
Polri: Perputaran Uang 3 Situs Judi Online dengan 18 Tersangka Capai Rp1 Triliun

Polri: Perputaran Uang 3 Situs Judi Online dengan 18 Tersangka Capai Rp1 Triliun

Nasional
Menag: Tidak Ada Penyalahgunaan Kuota Haji Tambahan

Menag: Tidak Ada Penyalahgunaan Kuota Haji Tambahan

Nasional
Polri Tangkap 5.982 Tersangka Judi 'Online' Sejak 2022, Puluhan Ribu Situs Diblokir

Polri Tangkap 5.982 Tersangka Judi "Online" Sejak 2022, Puluhan Ribu Situs Diblokir

Nasional
KPK Geledah Rumah Mantan Direktur PT PGN

KPK Geledah Rumah Mantan Direktur PT PGN

Nasional
Imbas Gangguan PDN, Lembaga Pemerintah Diminta Tak Terlalu Bergantung

Imbas Gangguan PDN, Lembaga Pemerintah Diminta Tak Terlalu Bergantung

Nasional
Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

Nasional
Polri Akui Anggotanya Kurang Teliti saat Awal Pengusutan Kasus 'Vina Cirebon'

Polri Akui Anggotanya Kurang Teliti saat Awal Pengusutan Kasus "Vina Cirebon"

Nasional
Tanggapi Survei Litbang Kompas, Istana: Presiden Konsisten Jalankan Kepemimpinan Merakyat

Tanggapi Survei Litbang Kompas, Istana: Presiden Konsisten Jalankan Kepemimpinan Merakyat

Nasional
Kemensos: Bansos Tak Diberikan ke Pelaku Judi Online, Tetapi Keluarganya Berhak Menerima

Kemensos: Bansos Tak Diberikan ke Pelaku Judi Online, Tetapi Keluarganya Berhak Menerima

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com