Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2013, 12:00 WIB
Deytri Robekka Aritonang

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Gerindra menyambut baik rencana Presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai Mahkamah Konstitusi (MK). Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta MK mau menerima peraturan tersebut dan rela diawasi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK.

"Menurut saya, kondisi itu (kemerosotan kepercayaan publik terhadap MK), hakim-hakim MK harus menerima (perppu) sebagai proses yang mengawasi dirinya untuk menimbulkan kepercayaan kembali. Kekuasaan MK harus dibagi," ujar Muzani di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (10/10/2013).

Dia mengatakan, perppu yang saat ini tengah dibahas pemerintah itu hanya akan mengatur mekanisme kinerja MK. Ia mengungkapkan, MK harus menerimanya, mengingat, sebenarnya, posisi hakim MK sama dengan hakim Mahkamah Agung. Artinya, kata dia, hakim konstitusi pun harus diawasi.

KOMPAS.COM/Sandro Gatra Gedung Mahkamah Konstitusi

Selain mekanisme pengawasan, Muzani juga mendukung wacana pengurangan wewenang MK untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Tidak semua hal harus dibicarakan (diselesaikan) di MK. Memang ada beberapa hal yang kekuasaannya harus dibagi. Apakah pilkada kabupaten atau provinsi. Menurut kami, harus dibicarakan serius," ujarnya.

Dia mengatakan, jika memang diputuskan penyelesaian sengketa pilkada tetap ditangani MK, dia mengungkapkan, harus ada penataan ulang. Yang terpenting, katanya, pengambilan keputusan oleh para hakim harus dilakukan dengan transparan.

"Kalau tetap di MK, mekanismenya harus ditata ulang. Selama ini, mekanisme yang ada di MK adalah mekanisme satu arah, satu jalur sehingga tidak dimungkinkan adanya sebuah kontrol atau tranparansi bagaimana mengambil suatu keputusan, apa pertimbangannya," lanjutnya.

Ia mengatakan, untuk memperkuat perppu, ke depan, DPR harus menetapkan perppu menjadi undang-undang yang lebih kuat dan permanen.

Disampaikannya, MK memang pernah membatalkan Undang-Undang UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY terkait kewenangan KY mengawasi hakim MK. Namun, kata dia, harus ada keputusan politik yang menguatkan perppu agar memiliki kekuatan hukum dan tidak lagi dibatalkan.

"Perppu itu sifatnya darurat. Pada akhirnya, DPR harus menimbulkan UU baru yang semangatnya sama dengan perppu. Harus ada kesepakatan, diberikan policy politik, setelah perppu ini akan bagaimana," kata Muzani.

Fungsi pengawasan KY terhadap hakim konstitusi sudah dibatalkan MK pada 2006 lewat pengujian UU KY. Dengan putusan itu, KY yang sebelumnya diamanatkan untuk mengawasi hakim MK sudah tidak lagi ditugaskan mengawasi hakim konstitusi. Sabtu (5/10/2013) lalu, Presiden berpidato tentang lima langkah penyelamatan MK. Salah satunya ialah rencana penyiapan perppu yang mengatur aturan dan seleksi hakim MK oleh presiden.

Perppu itu juga mengatur pengawasan terhadap proses peradilan MK yang dilakukan Komisi Yudisial. Selain itu, MK diharapkan melakukan audit internal. 

Terkait rencana pembuatan perppu, Presiden mengatakan, hal itu dilakukan dalam rangka merespons krisis yang terjadi di lembaga tinggi negara itu sehubungan dengan tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyatakan, pemerintah akan segera mengirimkan perppu ke DPR dan diharapkan bisa menjadi UU.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com