Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilangkan "Tradisi" Hakim Konstitusi dari Partai Politik!

Kompas.com - 03/10/2013, 10:39 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, Rabu (2/10/2013) malam, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencuatkan wacana tentang proses seleksi hakim konstitusi. Proses seleksi yang membuka ruang diikuti oleh politisi didesak untuk segera diubah. 

"Salah satu cara bagaimana meminimalisir kemungkinan permainan uang di MK adalah mengakhiri tradisi ruang-ruang politik," ujar Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi Kamis (3/10/2013).

Saat ini, calon hakim MK berasal dari tiga institusi yakni dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan Mahkamah Agung. Seleksi di DPR, kata Zainal, masih belum bebas dari kepentingan partai politik. Parpol di DPR berlomba-lomba mengirimkan calonnya meski calon hakim konstitusi itu belum vakum di partai politik.

KOMPAS.COM/ARIANE Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mohtar, menjadi pembicara dalam diskusi
"Bahwa ada orang-orang politik yang masih punya kedekatan politik yang dituakan pada proses tertentu memang begitu. Tidak ada proses pengakhiran di parpol dengan jelas. Seharusnya ditegaskan bahwa dia berhenti di parpol," kata Zainal.

Ia juga meminta agar Presiden, MA, dan DPR mengubah tradisinya dalam menyeleksi calon hakim konstitusi. Tiga lembaga tinggi negara tersebut hanya bertugas sebagai panitia seleksi dan menghimpun lebih banyak orang-orang yang independen.

"Independensi ini penting apalagi semua kasus di MK adalah kasus Pemilu, kasus politik yang sangat rentan terjadi peluang korupsi," ujarnya.

Sebelum menjadi hakim konstitusi, Akil tercatat sebagai politisi asal Partai Golkar. Saat ini, di jajaran hakim konstitusi, ada dua hakim yang berlatarbelakang politisi. Mereka adalah Patrialias Akbar yang berasal dari Partai Amanat Nasional dan Hamdan Zoelva dari Partai Bulan Bintang. Keraguan atas independensi hakim berlatarbelakang politisi sempat mencuat, meski mereka menjamin akan independen dan telah melepas baju partainya.

Seperti diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ketua MK Akil Mocktar, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, dan seorang pengusaha berinisial CN pada Rabu (2/10/2013) malam di rumah dinas Akil, Kompleks Widya Chandra. KPK juga turut menyita sejumlah uang dollar Singapura senilai Rp 2-3 miliar yang diberikan Chairun Nisa dengan CN kepada Akil Mochtar. Uang itu diduga terkait sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimatan Tengah.

Seusai menangkap tiga orang di rumah Akil, KPK menangkap dua orang di sebuah hotel kawasan Jakarta Pusat. Keduanya yaitu Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan pihak swasta inisial DH. Kelimanya saat ini tengah menjalani pemeriksaan di Gedung KPK RI.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com