Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Ada perbedaan antara kondisi rakyat pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Meski berbeda, kondisi rakyat di tiga zaman itu serupa dan terangkum dalam kata, maaf, ”bodoh”.
Pada masa Orde Lama, ”rakyat masih bodoh” karena kita belum terlalu lama merdeka. Jumlah penduduk tahun 1960 baru 93,6 juta jiwa.
Namun, PBB mencatat tingkat melek huruf pada Orde Lama meningkat dari 10 persen ke 50 persen (1960). Dunia mengakui bagusnya sistem pendidikan dengan kualitas kurikulum yang membuat generasi muda siap bersaing di tingkat global.
Nah, pada masa Orde Baru, sering terdengar ucapan ”mumpung rakyat bodoh”. Sistem politik yang mencengkeram sering menakut-nakuti rakyat demi pelanggengan kekuasaan.
Rakyat dibodohi dengan aneka cerita tentang aneka bahaya. Ada bahaya komunis, ekstrem kiri, ekstrem kanan, liberal, setan gundul, organisasi tanpa bentuk, dan sebagainya.
Pembodohan paling kentara adalah politisasi kata ”oknum”. Warga sipil cepat dituduh pemberontak, separatis, anti-Pancasila, atau teroris.
Namun, aparat keamanan sering berlindung di balik status ”oknum”. Kalau ada anggotanya yang melanggar hukum, ia langsung disebut oknum.
Nah, pada era Orde Reformasi ini, yang berlaku ”rakyat masa bodoh”. Kini rakyat sudah pintar, ogah ditakut-takuti, dan tak peduli pada politik.
Rakyat ”naik kelas” jadi warga yang mau menikmati demokrasi, bukan lagi sekadar mengenal atau memahami demokrasi. Demokrasi tak pernah menunggu, ia berjalan beriringan bersama rakyat.
Pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen bukan melulu karena prestasi pemerintah, melainkan berkat domestic consumption (belanja domestik) dari uang rakyat. Ada anggapan, tanpa peranan pemerintah pun, ekonomi tetap tumbuh tinggi.
Itu sebabnya, Indonesia disebut sebagai ”negeri otopilot” yang melaju terus tanpa kepemimpinan. Birokratisasi dan politisasi oleh penyelenggara kekuasaan pusat ataupun daerah justru dipandang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Dengan preposisi itulah kini kita mengerti mengapa rakyat semakin apatis terhadap politik. Sebagai contoh, lebih dari 50 persen pemilih tak menggunakan hak pilihnya di Pilgub Sumut.
Bagi politisi/partai, ini kekalahan mutlak. Sebaliknya, bagi rakyat, ini kemenangan moral yang amat vital untuk menyehatkan demokrasi.
Itulah bedanya persepsi demokrasi di antara keduanya. Bagi politisi/partai, yang penting terpilih dengan cara apa pun. Sementara, bagi rakyat, yang penting mau atau tidak memberikan mandat.