Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TNI: Tidak Ada Teori Konspirasi dalam RUU Kamnas

Kompas.com - 26/12/2012, 18:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan Mayjen TNI Hartind Asrin menegaskan, pihaknya sama sekali tidak membawa kepentingan tertentu dalam menyusun Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas). RUU tersebut mendapat banyak tentangan dari kelompok masyarakat sipil lantaran dianggap memberikan kewenangan besar bagi TNI untuk bertindak.

"Saya tegaskan, kami dari TNI, terbuka atas semua kritik dan masukan. Tidak ada kepentingan apa pun yang kami bawa, kecuali kepentingan negara," ujar Hartind, Rabu (26/12/2012), dalam diskusi di Galeri Cafe Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Ia mengatakan, keterbukaan sikap TNI dalam menyusun RUU itu dibuktikan dengan penghilangan pasal tentang penyadapan. Ia juga mengatakan, pasal tentang sanksi terhadap perancang undang-undang yang dinilai inkonsepsional yang awalnya tercantum pun sudah dihapus.

"Kalau salah mengkonsep undang-undang, tadinya di RUU ini juga dimasukkan, bisa dipidana, tapi akhirnya dihapus karena ditentang DPR. Kemhan tidak alergi akan masukan," ucap Hartind.

Hartind melanjutkan, RUU Kamnas ini diperlukan lantaran untuk menjaga keamanan nasional. Selain itu, untuk merespon adanya ancaman, Hartind menilai perlu tindakan cepat melalui gladi posko yang melibatkan Forkominda (Forum Komunikasi Intelijen Daerah). Gladi posko itu dipimpin oleh pimpinan daerah.

"Gladi posko ini juga dipimpin oleh sipil. Jadi tidak benar kalau kami menghilangkan hak sipil, justru kami menghormati itu. Jangan berpikiran, ini teori konspirasi. Tidak ada! Ini untuk kepentingan nasional," katanya.

Kementerian Pertahanan telah menyerahkan draft Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas) yang telah direvisi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Oktober lalu. Namun, hasil revisi draft RUU itu nyatanya masih menyisakan 44 pasal yang berbenturan dengan undang-undang yang sudah ada. Selain itu, beberapa pasal di antaranya masih dianggap melanggar hak sipil.

"RUU Kamnas dibuat dengan tergesa-gesa. Tidak ada perubahan signifikan dalam RUU ini dari 60 menjadi 55 pasal. Dari 55 pasal itu, koalisi menolak 44 pasal," ujar aktivis Imparsial, Batara Ibnu Reza, Rabu (26/12/2012) dalam diskusi di Galeri Cafe Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Batara mengatakan, keberadaan RUU Kamnas ini penting namun substansinya bisa menimbulkan banyak persoalan. Pasal-pasal yang ada di dalam RUU Kamnas dianggap berbenturan dengan undang-undang yang ada, seperti Undang-undang Pertahanan Negara.

Selain itu, definisi ancaman nasional juga belum menemukan titik temu. Di dalam draft terbaru, Kementerian Pertahanan masih memasukkan kata "dan lain-lain" dalam definisi keamanan nasional. Aksi mogok masal buruh, misalnya, bisa disebut sebagai ancaman nasional.

"Padahal itu adalah hak buruh untuk mogok," kata Batara.

RUU Kamnas, lanjutnya, seharusnya menjadi sebuah payung hukum untuk keamanan manusia. Namun, pasal-pasal di dalamnya justru mengancam HAM. Di RUU Kamnas, Presiden bisa mengerahkan pasukan TNI tanpa pertimbangan perangkat negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com