Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gawat Darurat Pendidikan

Kompas.com - 14/12/2012, 02:34 WIB

Elin Driana

Hasil Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011, yang baru saja dipublikasikan, semakin menegaskan kondisi gawat darurat dunia pendidikan di Tanah Air.

Nilai rata-rata matematika siswa kelas VIII (kali ini Indonesia tidak mengikutkan siswa kelas IV) hanya 386 dan menempati urutan ke-38 dari 42 negara. Di bawah Indonesia ada Suriah, Maroko, Oman, dan Ghana. Negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, berada di atas Indonesia. Singapura bahkan di urutan kedua dengan nilai rata-rata 611. Nilai ini secara statistik tidak berbeda secara signifikan dari nilai rata-rata Korea, 613, di urutan pertama dan nilai rata-rata Taiwan, 609, di urutan ketiga.

Hasil Sains tak kalah mengecewakan. Indonesia di urutan ke-40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata 406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai matematika dan sains siswa kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan.

Hasil Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011, yang juga baru diterbitkan, menempatkan siswa kelas IV Indonesia di urutan ke-42 dari 45 negara dengan nilai rata-rata 428. Di bawahnya ada Qatar, Oman, dan Maroko.

Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tecermin dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Indonesia telah ikut serta dalam siklus tiga tahunan penilaian tersebut, yaitu 2003, 2006, dan 2009. Hasilnya sangat memprihatinkan. Siswa-siswa Indonesia lagi-lagi secara konsisten terpuruk di peringkat bawah. Kita tunggu bersama hasil penilaian tahun 2012.

Benar bahwa kita pun memiliki anak-anak yang meraih medali dalam berbagai olimpiade matematika ataupun sains. Namun, jumlah mereka tak seberapa dibandingkan total populasi anak-anak di Indonesia. Kita tak bisa mengandalkan pembangunan bangsa dan melepaskan kebergantungan bangsa ini pada produk impor, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, hanya pada segelintir orang saja.

Konsistensi buruknya hasil-hasil penilaian internasional terhadap kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa-siswa Indonesia merupakan indikator kuat adanya ”penyakit-penyakit” kronis dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun tampaknya belum berhasil menyembuhkan ”penyakit-penyakit” itu. Bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan yang diambil justru semakin memperparah kondisi pendidikan di Tanah Air.

Ujian Nasional, misalnya, telah terbukti gagal dalam meningkatkan prestasi akademis siswa kita. Asesmen-asesmen internasional, seperti TIMSS, PIRLS, dan PISA, sangat tepat untuk dijadikan indikator kegagalan UN. Berbagai kajian seputar ujian kelulusan yang dilakukan di beberapa negara juga belum berhasil membuktikan bahwa ujian kelulusan merupakan instrumen tepat untuk meningkatkan prestasi akademis siswa.

Sementara itu, dampak-dampak negatif, seperti penyempitan kurikulum, terfokusnya pembelajaran pada latihan-latihan soal, terhambatnya pembelajaran yang menekankan kreativitas dan inovasi, ataupun kecurangan-kecurangan, telah terbukti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com