JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam 20 tahun mendatang, anak-anak muda saat ini akan menjadi pemimpin bangsa. Namun, perhatian pemerintah terhadap mereka serta pelibatan mereka secara aktif dalam pembangunan sangat kurang. Anak muda masih dipandang sebelah mata.
"Pemuda perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan," kata Nisrina Nadhifah, peserta Forum Pemuda Dunia (Global Youth Forum/GYF) dari Jakarta dalam diskusi Jalan Menuju Bali (Road to Bali) di Jakarta, Senin (26/11/2012).
Saat ini, banyak kebijakan yang menyangkut pemuda diputuskan tanpa melibatkan pemuda secara langsung. Pemuda baru dilibatkan ketika kebijakan tersebut dilaksanakan. Namun, mereka tak paham mengapa mereka harus melaksanakan kebijakan tersebut.
Forum Pemuda Dunia akan diselenggarakan di Bali, 4-6 Desember mendatang. Diperkirakan akan hadir 1.000 peserta dari 194 negara. Suara pemuda Indonesia yang akan disampaikan dalam forum tersebut dihimpun melalui dikusi Jalan Menuju Bali yang diselenggarakan di Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Kupang, dan Jayapura.
Advokat Pemuda Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia, Angga Dwi Martha, mengatakan, salah satu pemicu kurang dilibatkannya pemuda dalam proses pengambilan kebijakan adalah tidak jelasnya batasan usia pemuda.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan menyebut pemuda jika berusia 16-30 tahun. Namun, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebut seseorang yang berumur di bawah 18 tahun sebagai anak-anak.
Di UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang wanita diperbolehkan menikah jika berumur minimal 16 tahun dan pria diizinkan menikah jika berusia 19 tahun. Adapun mengacu ketentuan PBB, pemuda adalah seseorang yang berumur 15-24 tahun.
Jika mengacu pada ketentuan PBB, jumlah pemuda Indonesia sesuai hasil Sensus Penduduk 2010 mencapai 40,8 juta orang atau 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat itu yang mencapai 237,6 juta jiwa. Sementara itu, dari 7 miliar penduduk dunia pada 2012 sesuai data Biro Sensus Amerika Serikat, yang masuk kelompok pemuda mencapai 1,2 miliar orang atau 17 persen populasi global.
Selain keterbatasan partisipasi dalam pembangunan, pemuda Indonesia juga menghadapi akses pendidikan yang tidak merata, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, tingginya angka pengangguran, serta makin rendahnya kepedulian pemuda terhadap isu-isu sosial di sekitarnya.
Agus Burniat, peserta GYF Palembang, mengungkapkan, banyak kasus kriminal di daerahnya dilakukan pemuda. Tingginya kasus kriminal dipicu banyaknya pengangguran akibat rendahnya pendidikan.
Kurangnya informasi dan layanan tentang kesehatan reproduksi membuat banyak pemuda terjebak dalam perilaku seksual berisiko, mulai dari seks bebas, seks pranikah, pernikahan usia dini, kekerasan dan pelecehan seksual, hingga aborsi ilegal.
"Pendidikan kesehatan reproduksi harus dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal secara terkoordinasi dan berkesinambungan," tutur Linda Noya, peserta GYF dari Jayapura. Pendidikan kesehatan reproduksi diberikan sesuai usia tumbuh kembang pemuda.
Banyak pemuda juga terjebak pada minuman keras, rokok, dan narkoba. Kondisi ini diperparah dengan budaya lokal di sejumlah daerah yang mendorong konsumsi minuman beralkohol. "Pendidikan dalam keluarga penting untuk membentuk dasar karakter pemuda," ujar Alfrado Raymond Sewar, peserta GYF dari Kupang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.