Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada DKI dan Reformasi Jilid II

Kompas.com - 25/09/2012, 03:49 WIB

Oleh Sunny Tanuwidjaja

Perjalanan demokratisasi yang dimulai tahun 1998 harus diakui tersendat-sendat.

Meski secara struktur dan perangkat kelembagaan ada banyak kemajuan yang mendorong demokratisasi, masih banyak sekali praktik dan fakta di lapangan seperti korupsi, politik uang, dan lainnya yang justru bertentangan dengan kemajuan-kemajuan yang ada dan bahkan mendorong pelemahan sistem demokrasi saat ini. Politik yang sering kali lebih didominasi oleh keinginan berkuasa semata dan kekuatan uang membuat kita bertanya, apakah demokrasi kita sudah berada di jalan yang benar.

Berbagai kemunduran dan tersendatnya proses demokratisasi yang ada setelah lebih dari sepuluh tahun bereformasi mulai memunculkan kesadaran tentang pentingnya peran aktor-aktor dalam sistem yang ada. Tanpa munculnya aktor-aktor yang teruji bersih dari kepentingan pribadi dan kelompok dan punya ketegasan di tampuk kepemimpinan politik sulit rasanya berharap banyak pada proses politik dan demokratisasi yang ada.

Harapan dari Ibu Kota

Pilkada DKI baru-baru ini memberikan sedikit titik terang dan optimisme. Kemunculan figur Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama yang sejak awal diprediksi tidak akan mampu melawan kekuatan petahana, tetapi berdasarkan hasil hitung cepat di putaran kedua secara mengejutkan mampu mengalahkan petahana, memberikan secercah harapan. Mengapa mengejutkan dan mengapa memberikan harapan?

Pertama, dengan dana kampanye yang paling sedikit tiga kali lebih kecil dari petahana, Jokowi dan Basuki mampu menunjukkan bahwa uang bukanlah segala-galanya. Dengan segala keterbatasan pendanaan, pasangan ini menggunakan metode kampanye yang kreatif, tetapi efisien dan efektif. Mulai dari menonton bareng video yang memperkenalkan sang kandidat hingga melakukan advokasi langsung ke bawah guna membantu orang yang kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan, turun langsung ke lapangan secara spontan tanpa membagikan apa pun selain kartu nama, membagikan tabloid-tabloid yang isinya menceritakan para kandidat, dan masih banyak lagi.

Dengan model kampanye yang sederhana, tetapi mengena, pasangan ini menunjukkan bahwa memenangkan hati rakyat secara kreatif jauh lebih penting daripada menghamburkan uang untuk ”membeli” dukungan.

Kedua, pasangan nomor 3 ini hanya didukung dua partai yang hanya memiliki sekitar 18 persen kursi di DPRD DKI, sementara sang petahana pada ronde kedua didukung partai yang menguasai 82 persen kursi. Meski didukung partai yang jauh lebih sedikit, pasangan Jokowi-Basuki mampu mendulang suara sekitar tiga kali lipat lebih banyak dari pendukung partai pengusungnya. Kemenangan Jokowi-Basuki menunjukkan, ada persoalan serius dengan parpol kita yang seharusnya menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat ternyata tak mampu menangkap aspirasi tersebut di pilkada Ibu Kota ini.

Partai perlu melakukan introspeksi serius terhadap diri masing-masing jika masih mau bertahan di kontestasi-kontestasi politik ke depan. Kekalahan petahana yang juga kekalahan partai politik menunjukkan demokrasi bukan hanya milik elite politik dan partai, melainkan juga milik rakyat. Semua ini menunjukkan, suara rakyat bisa mengalahkan kekuatan partai dan menghukum partai yang gagal menjalankan peran politiknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com