Oleh DODI MANTRA
Ketika kemerdekaan masyarakat yang terjajah bermuara pada perwujudan entitas negara-bangsa, dengan segera pembangunan menjadi praktik yang mengisi ruang kemerdekaan.
Merdeka, dengan menjadi negara-bangsa, memang secara legal bermakna kesetaraan. Namun, komposisi legal sebagai negara-bangsa tidak serta-merta bermakna setara. Secara ekonomi dan politik, eksistensi negara-bangsa baru ini tetap dimaknai dalam kategori negara-bangsa ”yang tertinggal” dalam kancah relasi kuasa internasional.
Untuk mengatasi ”ketertinggalan”, pembangunan digariskan sebagai praktik yang mutlak harus dilakukan oleh negara-bangsa yang baru merdeka. Pembangunan menjadi praktik imperatif untuk mewujudkan keutuhan identitas negara-bangsa.
Atas nama pembangunan, beraneka sistem kehidupan dalam masyarakat mengalami transformasi radikal dan tenggelam ditelan laju industrialisasi. Beragam aktivitas ekonomi yang eksploitatif terhadap manusia dan alam menjadi hal wajar di negara-negara yang baru merdeka.
Selang setengah abad kemudian, ketika kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, kemiskinan dan kelaparan semakin signifikan dan pertumbuhan semakin tidak merepresentasikan kesejahteraan, lagi-lagi pembangunan yang menjadi solusi.
Pembangunan dianggap dapat mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan. Bahkan, melalui pembangunan, lingkungan dapat dilestarikan. Melalui wacana pembangunan yang berkeadilan sosial, pembangunan pun dapat mengatasi ketimpangan sosial dan angka pertumbuhan.
Maka, pembangunan selalu terbebas dari dosa. Pembangunan selalu diyakini sebagai praktik yang mulia, yang berjalan bebas dari kepentingan politik dan ditujukan untuk kemajuan semua lapisan masyarakat. Demikianlah pembangunan tidak pernah punya salah.
Sebaliknya, makna sosial tidak lahir dari ruang kosong. Makna sosial selalu lahir dari relasi kuasa antaraktor-aktor sosial yang tidak setara. Relasi kuasa juga berlangsung di balik panggung makna kepolosan pembangunan.
Relasi kuasa pembangunan
Secara historis, kemunculan gagasan pembangunan terkait dengan kemunculan kapitalisme sebagai sistem yang menggantikan masyarakat feodal di Eropa pada abad ke-18 (Jorge Larrain, 1989). Berakar dari perkembangan sistem kapitalisme ini, terbuka peluang bagi munculnya kemajuan pembangunan material (Larrain, 1989).
Pelaku dari proses transformasi dan pencetus dari gagasan pembangunan ini adalah kelas borjuis, yang tidak akan bertahan tanpa revolusi konstan atas instrumen dan relasi produksi serta keseluruhan relasi dalam masyarakat. Maka, gagasan pembangunan menjadi alat kelas borjuis untuk mentransformasikan masyarakat demi akumulasi modal.
Menurut Larrain, teori-teori tentang pembangunan berkembang seiring perubahan dalam fase-fase dari kapitalisme. Tidak heran jika makna pembangunan bagi negara-negara yang baru merdeka pasca-Perang Dunia II selalu bermuara pada industrialisasi dengan modus produksi kapitalisme di jantungnya.
Sedikit sekali yang dapat memungkiri bahwa gagasan pembangunan bersifat Euro-sentris. Gagasan tentang pembangunan dibangun atas dasar logika berpikir yang dikotomis, di mana masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara dimaknai sebagai ”yang maju” (developed) dan masyarakat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin sebagai ”yang terbelakang” (underdeveloped) (Ziai, 2007). Artinya, ”yang terbelakang” atau ”yang tertinggal” harus menjadi ”maju”.
Ada dua lapis makna yang dibangun atas dasar relasi kuasa dalam konteks ini. Dalam lapisan yang pertama, makna dari kehidupan masyarakat Afrika, Asia, dan Amerika Latin ”yang terbelakang” tidaklah bersifat alami. Makna itu digariskan oleh masyarakat di belahan bumi lain.