JAKARTA, KOMPAS.com — Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus segera ditata kembali karena selama ini penyalahgunaan wewenang (abuse of power) di tubuh Polri sudah begitu mencemaskan. Hal ini terjadi karena secara struktural, negara menempatkan Polri sebagai alat kekuasaan, bukan lembaga penegak hukum. Polri berada di bawah Presiden.
"Restrukturisasi di dalam tubuh Polri harus segera dilakukan karena kalau polisi dibiarkan begini terus, maka abuse of power-nya akan terus jalan. Lihat saja perseteruan Cicak lawan Buaya dan sekarang anggota Polri yang melakukan penyalahgunaan wewenang (Irjen Djoko Susilo) sulit untuk diperiksa KPK," ujar pengamat kepolisian dan dosen kriminologi Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar yang hadir dalam konferensi pers Indonesia Corruption Watch (ICW) di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (31/7/2012).
ICW bersama sejumlah tokoh menggelar jumpa pers menyikapi tindakan aparat Polri yang menghalangi penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung Korlantas Polri, Selasa. Selain Bambang, hadir dalam jumpa pers itu, antara lain, Koordinator ICW Dhanang Widoyoko, peneliti ICW Tama S Langkun, Koordinator Investigasi ICW Agus Sunaryanto, dan Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma.
"Kalau polisi itu alat penegak hukum, polisi tidak bertindak seperti sekarang ini. Tindakan penyalahgunaan wewenang polisi itu karena dia alat kekuasaan makanya arogan, alat politik negara," ujar Bambang.
Struktur ketatanegaraan yang menempatkan Polri di bawah Presiden, kata Bambang, rawan penyimpangan karena Polri akan berpihak pada kepentingan penguasa, bukan rakyat. Maka, menurut dia, posisi Polri di bawah Presiden perlu dikaji ulang. Begitu pula posisi Polri di bawah menteri dalam negeri pun kalau tidak ada peraturan yang mengawasi, maka akan sama saja.
"Perlu ada kepastian hukum atau sanksi yg mengikat sehingga anggota dan petinggi Polri tidak bertindak sewenang-wenang pada rakyat atau instansi yang didukung rakyat seperti KPK," terangnya.
Sebelumnya, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia membantah pihaknya menghalangi dan "menyandera" penyidik KPK yang melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas sejak Senin (30/7/2012) malam. Dalam penggeledahan tersebut, KPK menemukan berbagai dokumen terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kendaraan roda dua dan roda empat senilai Rp 198,7 miliar.
KPK menemukan cukup bukti adanya dugaan suap Rp 2 miliar kepada Inspektur Jenderal Djoko Susilo selaku Direktur Lantas Polri ketika itu. KPK menetapkan Djoko sebagai tersangka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.